SCITO TE IPSUM

The greatest thing in all my life is knowing you. I want to know you more. The greatest thing in all my life is loving you. I want to love you more. The greatest thing in all my life is serving you. I want to serve you more.

Rabu, 19 November 2014

Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Dan Oikumene




I.                   Pendahuluana
Manusia berbeda dengan pulau. Ia memerlukan persekutuan dengan orang lain dan tidak ada satupun bangsa yang puas dengan dirinya sendiri. Setiap bangsa membutuhkan hubungan dan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain. Pertukaran dan saling berbagi pengalaman manusia diperkayakan dan menumbuhkan perspektif baru. Sehingga hal ini benar-benar baik untuk hubungan maupun kerja sama untuk tumbuhnya persekutuan kebersamaan. Dan persekutuan itu adalah berlandaskan dalam iman dan kepercayaan. Sama halnya dengan oikumene yaitu usaha dalam memikul kesatuan menuju gereja yang esa. Namun dalam hal ini, untuk menuju keesaan tersebut salah satu yang ambil bagian di dalamnya adalah  Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Oleh karena itu dalam sajian ini kita akan membahas bagaimana GBKP dan Oikumenika serta perananya. Semoga sajian ini dapat menambah wawasan bagi kita.
II.                Pembahasan
2.1.Pengertian Oikumene
Di dalam ilmu teologi, konsep keesaan dibicarakan dalam terminology “Oikumene”. Kata ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu  oikos’, yang berarti rumah atau tempat tinggal, dan ‘menein’,yang berarti mendiami, sehingga secara etimologi oikumene berarti mendiami rumah atau tempat tinggal secara bersama. Tradisi gereja kemudian mengembangkan pemaknaan istilah oikumene menjadi “kehidupan dan panggilan bersama gereja-gereja di dunia melalui sikap dan aktivitas persekutuan, pelayanan dan kesaksiannya.”[1]  Berdasarkan kata oikumene tersebut maka kita dapat memaknai gerakan keesaan sebagai sebuah dinamika gereja Yesus Kristus dalam mewujudkan iman dan panggilannya di tengah-tengah dunia yang sama. Menurut Dr. J.L. Ch. Abineno, gerakan keesaan mencakup dua hal mendasar, yaitu pertama pewujudan diri gereja Yesus Kristus yang esa di dalam iman dan tugas panggilannya di dunia, kedua panggilan untuk mempersatukan gereja yang telah terpisah-pisah oleh perbedaan budaya, bahasa, ajaran, dan organisasi, agar gereja tetap esa di dalam Yesus Kristus. Dengan hal-hal ini maka gerakan keesaan tidak hanya menekankan kesatuan lahiriah dan organisatoris, melainkan kesatuan dalam pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat Dunia serta kesatuan dalam panggilan untuk melayani dunia ini dengan berlandaskan kasih.[2]
2.2.Sejarah Singkat GBKP
Periode pertama (1890-1893) disebut sebagai periode Firman Tuhan disebarkan di bumi Karo. Pada tanggal 16 Nopember 1888, anggota parlemen Belanda JT. Kremer, yang kemudian menjabat menteri, telah menganjurkan Kristenisasi orang Batak Karo. Lalu Cremer, bersama zendeling Kreemer dari Jawa Timur mendatangi direksi dari beberapa perusahaan perkebunan yang berhasil diajak agar menyumbangkan dana kepada pihak NZG,[3] untuk pelaksanaan penginjilan tersebut. Pada bulan Nopember 1889 ditandatangani suatu perjanjian antara pihak NZG dengan suatu panitia Zending Batak Karo di Amsterdam (yang mewakili perusahaan), lalu diutuslah H.C. Kruyt ke Tanah Karo.[4] Pada tanggal 18 April 1890 Pendeta H.C. Kruyt[5] bersama Nicolas Pontoh tiba di Belawan, dan melanjutkan perjalanan ke Medan. Mereka menginap beberapa malam di Medan untuk mengadakan persiapan seperlunya. Mereka mengadakan pendekatan terhadap para penguasa di daerah ini, seperti tuan Residen W.J.M. Michielson dan Tuan Carel Westenberg, kontelir khusus untuk orang Batak. Setelah meninjau lokasi di beberapa desa di sepanjang kaki Bukit Barisan maka Pdt. H.C. Kruyt menetapkan desa Buluhawar menjadi pos penginjilannya, karena desa ini berada pada jalur lalu lintas dari dan ke dataran Tinggi Karo. Desa ini menjadi desa persinggahan para pedagang yang disebutperlanja sira.  Pada saat itu barang dagangan diangkut dengan pikulan melalui jalan setapak mendaki dan menuruni gunung dan lembah serta menyeberangi sungai-sungai. Perjalanan ini sangat melelahkan, karena itu mereka butuh persinggahan.[6]Pada tanggal 1 Juli 1890, Pdt. H.C. Kruyt menetap tinggal di Buluhawar atas bantuan pengulu Buluhawar (penduduk desa Buluhawar sekitar 200 jiwa). Dia tinggal di rumah yang sederhana. Dalam catatan harian Pdt. H.C. Kruyt rumah tersebut berada di antara 2 rumah dan tidak jauh dari kampung. Rumah tersebut disewa 16 dollar dubbeltje =  336 cent per bulan. Dia belajar bahasa Karo dan budaya Karo, dia memakai ikat kepala (erbulang), memakai kain sarung tenunan khas Karo (eruis), memakai selendang (cabin), ikut bergotong royong (aron), juga merawat orang-orang sakit. Ada sekitar 41 orang yang dia rawat, misalnya ada yang keracunan darah dan ada yang sakit borok. Dia mengunjungi orang-orang sakit dan memberinya obat. Bayarannya biasanya berbentuk ayam, beras, dan lain-lain.[7]
Dia memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk tidak mengisap candu dan tidak bermain judi. Dia juga menjelaskan perbedaan misi Kristen dengan kehadiran kolonial Belanda. Pemerintah Belanda tidak senang dengan penyuluhan yang diberikan Pdt. H.C. Kruyt tetapi pendeta ini tetap pada pendiriannya. Pemerintah Belanda berkeinginan agar Pdt. H.C. Kruyt tidak menjelaskan perbedaan Kolonial Belanda dengan misi Kristen, jangan melarang orang Karo menghisap candu dan jangan bergabung dengan tentara Aceh untuk melawan Belanda. Kemudian pada tanggal 23 Nopember sampai 3 Desember 1890 Pdt. H.C. Kruyt pergi meninjau dataran tinggi Karo. Pada tahun 1891 dia meninggalkan tugas zendeling lalu pergi ke Menado bersama Nicolas Pontoh untuk mencari tenaga pembantu untuk penginjilan.  Kemudian ditemukan tenaga penginjil dan ditempatkan di 5 pos pelayanan (pada setiap pos pelayanan dibuka rumah sekolah dan poliklinik di samping pelayanan Firman),  yaitu :  
1. Guru Injil Benyamin Wenas di desa Salabulan.
2. Guru Injil Johan Pinotoan di desa Sibolangit.
3. Guru Injil Richard Tampenawas di desa Pernengenen.
4. Guru Injil Hendrik Pesik di desa Tanjung Beringin.
5. Pdt. H.C. Kruyt dan Nicolas Pontoh di desa Buluhawar.[8]
Periode ke-dua (1893-1940) disebut sebagai periode pembaptisan orang Karo. Karena pada tanggal 20 Agustus 1893, dilaksanakan pembaptisan kepada enam orang masyarakat Karo oleh Pdt. J.K. Wijngaarden, yaitu : Ngurupi bersama anaknya Pengarapen, Nuan (akhirnya menjadi Manteri Cacar yang dinamai Bapa Tuah Barus) dan Tala serta dua orang bersaudara, Tabar dan Sampai.[9]
Periode ke-tiga (tahun 1940- 1950) ini disebut sebagai periode kemandirian GBKP karena pada periode ini kepemimpinan GBKP beralih dari orang Belanda kepada orang Karo. Pada tanggal 18 April 1940 diadakan pesta jubileum 50 tahun penginjilan NZG di Tanah Karo. Dan tanggal 23 Juli 1941 diadakan Sidang Sinode I GBKP di Sibolangit dan pada saat itu ditahbiskan Pendeta pertama GBKP yaitu Pdt. Th. Sibero dan Pdt. P. Sitepu. Selain Pendeta pada saat itu sudah ada 35 orang Guru Agama.  Pada  Sidang Sinode ini dipilih pengurus Hoofbestuur (Pengurus Sinode GBKP yang dinamai Moderamen[10]) yang pertama yang diketuai Pdt. J. van Muylwijk. Tata Gereja pertama memakai bahasa Belanda dibuat pada Sidang Sinode ini dan diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1942. Dengan demikian terjadilah peralihan dari pelayanan NZG menjadi pelayanan gereja yang beraliran Calvinis. Pada saat itu GBKP diharapkan menjadi gereja yang mandiri. Pada bulan Juni 1943 pemuda Karo beramai-ramai menjadi tentara Jepang yang diberi nama Giyugun atau Hei Ho. Jemaat pada saat itu hidup dalam kekurangan. Masyarakat disuruh tentara Jepang untuk menyembah Matahari setiap pagi tapi banyak masyarakat yang menolak untuk melakukannya karena bertentangan dengan iman Kristen.[11]
Periode ke-empat (1950-1970) disebut sebagai periode pembangunan kembali GBKP. Pada tanggal 4-5 April 1950 diadakan Sidang Sinode GBKP IV di Kabanjahe dan dalam sidang ini dibahas supaya GBKP mendirikan Sekolah Guru Agama, lalu dibicarakan pengambilalihan rumah Sakit Zending, Sidang Sinode memutuskan untuk ikut Sidang Raya DGI 21-28 Mei 1950.Pada bulan September 1953 Anggapen Ginting Suka diutus untuk mengikuti pendidikan Theologia di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Ini menunjukkan bahwa GBKP mulai mempersiapkan tenaga pendeta melalui jalur pendidikan teologia. Selain itu pengurus pelayanan kaum ibu (Moria) dibentuk pada tanggal 16 Oktober 1957. Tahun 1960 dibuat aturan tentang tata cara pengangkatan Diaken dan tugas-tugas Diaken yeng lebih banyak kepada tugas pelayanan. Kemudian untuk mempersiapkan pemuda-pemudi gereja dalam hal beriman kepada Tuhan disusunlah buku pedoman Katekisasi. Pada periode ini juga disusun Tata Ibadah GBKP. Demikian juga untuk meningkatkan ekonomi jemaat dibangun proyek sapi Gelora Kasih Patumbak yang dilaksanakan pada tahun 1965 tetapi gagal karena kurang perencanaan. Pada tahun 1965 banyak diadakan baptisan massal karena masyarakat Karo takut dituduh mengikut PKI.[12]
Periode kelima (tahun 1970 hingga 2010) disebut sebagai Masa Peningkatan Pelayanan yang berfokus pada Tri Tugas Gereja. Pada Periode ini Kursus Wanita Karo (KWK) di Berastagi diresmikan (tanggal 2 Pebruari 1971). Ini menggambarkan bahwa pendidikan bukan hanya hak kaum pria tetapi juga hak kaum wanita.
Sidang Sinode XXII diadakan di Kabanjahe pada tanggal 23-28 Mei 1971 dan disusun Tata Gereja yang keenam. GBKP bekerja atas tiga tingkat yaitu :
1.        Jemaat yang dipimpin oleh Majelis Jemaat
2.        Klasis yang dipimpin oleh Badan Pekerja Klasis
3.        Sinode yang dipimpin oleh Moderamen
Pada saat Sidang Sinode ini, GBKP menyatakan dirinya sebagai gereja Presbiterial Synodal. Pada tahun 1971 jemaat GBKP sudah berjumlah 94.085 jiwa.
Pada tanggal 11 Nopember 1972 diadakan pembongkaran kuburan Pdt. J.K. Wijngaarden di pekuburan Kristen Jalan Pemuda Medan serta kuburan Pdt. J.H. Neumann di jalan Jamin Ginting Km. 4,5 Padang Bulan. Kemudian esok harinya tanggal 12 Nopember dilakukan penguburan ulang di Sibolangit dan kuburan ini dinamai Tanda Peringatan Pekabaran Injil Pertama ke Tanah Karo.[13]
2.3.Pengertian Oikumene menurut Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)[14]
Pengertian  Oikumene menurut Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yaitu sebuah  upaya gerakan kebersamaan gereja-gereja Kristen untuk menuju kesatuan. Dan GBKP adalah salah satu anggota persekutuan gereja-gereja di Indonesia dan sekaligus pendiri Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) pada tahun 1950, dan pada saat itu  gereja-gereja Kristen pendiri PGI berjumlah 29 gereja misalnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS), Benua Niha Kriso Protestan (BNKP), Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), Huria Kristen Indonesia (HKI) dan lain-lain.
2.4. Peranan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Dalam Pergerakan Oikumene di Tingkat Global (Dunia), Indonesia dan Sumatra Utara[15]
Sejauh perkembangan berdirinya Oikumene, Peranan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)  juga melibatkan diri dalam pergerakan oikumene di tingkat Global (Dunia), Indonesia (pusat), Sumatra Utara (wilayah)  dan di dalam tata gereja GBKP (daerah). Dalam  Pergerakan Oikumene di Tingkat Global (Dunia), Indonesia (Pusat), Sumatra Utara dan juga tingkat daerah, peranan GBKP mempunyai pemahaman hidup dalam oikumene  yaitu sebagai berikut :
1.      Oikumene Eksternal yaitu keterlibatan gereja dalam persekutuan Dewan gereja dunia, Dewan gereja Asia, Dewan geraja Indonesia, Dewan gereja Wilayah Sumatra Utara, dan Dewan Daerah (Kabupaten).
2.      Oikumenika Internal yaitu hubungan antar agama-agama berbeda aliran yang ada di seluruh Indonesia dan hubungan GBKP dengan Pemerintah dan masyarakat.
Dengan dua pendekatan ini GBKP merespon gerakan oikumene yaitu membentuk Biro oikumene di GBKP. Tujuan dari Biro ini adalah khusus untuk menangani bidang oikumene khususnya dalam keterlibatan GBKP sebagai salah satu pendukung oikumene dunia, dan adapun tugas bidang Biro oikumene ialah merespon hal-hal untuk dunia yaitu  berurusan yang bergerak menangani bidang Oikumene termasuk tugas sebagai anggota oikumene dunia yaitu menerima surat undangan tingkat global dan untuk menghadiri undangan tersebut dan keterlibatan GBKP dalam PGI yaitu menjalin hubungan baik  dengan pemerintah dan daerah misalnya, GBKP ikut serta menghormati hari-hari besar keagamaan lainnya seperti hari raya Idul Fitri, hari raya Imlek dan lain-lain dengan membuat spanduk-spanduk yang bertemakan GBKP juga ikut menghormati agama-agama lain.  Dalam mensukseskan program oikumene GBKP ikut serta dalam hal pembayaran iuran baik dalam tingkat Dunia, Asia dan Pusat. Keterlibatan GBKP dalam merespon gerakan oikumene juga   terlihat ketika terpilihnya GBKP sebagai tuan rumah World Couencil Center (WCC) pada tahun 2012, dan salah satu sebagai anggota Unaited Evangelical Mission (UEM)  di dunia. Keikutsertaan GBKP dalam oikumene terlihat dalam terjalinnya hubungan kerja sama yang baik antara Jerman dan GBKP yaitu menerima tenaga foluntir dari Jerman yang bertugas dalam pelayanan di Yayasan panti asuhan Kristen GBKP Alfa Omega. Adapun pelayanan yang dilakukan foluntir Jerman di Yayasan panti asuhan Kristen GBKP Alfa Omega adalah menangani orang tua (Lansia) dan menangani orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental. Sebaliknya GBKP tidak hanya menerima foluntir dari Jerman, melainkan juga mengirim pemuda GBKP ke Jerman sebagai foluntir dan juga menangani lansia, keterbelakangan mental di Jerman. Kerja sama ini juga di pengaruhi oleh GBKP yang bekerja di Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yaitu yang bergerak dalam Marturia yaitu pelayanan dalam bidang Pemberdayaan Anak.
Dalam PGI, GBKP terlibat salah satunya sebagai pendukung program dan  juga terlibat di dalam program tersebut. Sebagai contohnya yaitu Diakonia seperti bantuan kepada gempa bumi dan Tsunami di Mentawai dan Nias, tidak hanya membantu dalam hal materi tetapi juga mengutus anak Singuda (Pemuda/Pemudi GBKP) untuk memberi bantuan kepada orang-orang yang terkena bencana gempa bumi di Nias maupun Mentawai. Bukan hanya dalam hal itu, GBKP juga terlibat dalam diadakanya Pekan Iman Anak dan Remaja yang dilakukan selama satu (1) minggu dengan istilah Camp. Pada saat itu juga GBKP sebagai Tuan Rumah tahun 2013 lalu, kegiatan ini juga di bekerja sama dengan Pembinaan Pelayanan Anak Seluruh Indonesia. Dalam tingkat daerah GBKP juga mengaku adanya oikumene  misalnya  mengadakan Paskah dan Natal serta mengadakan pembentukan kelompok-kelompok kerja yang bergerak dalam pertanian. Khususnya kegiatan ini dilakukan kaum bapa di GBKP, kelompok kerja sama ini juga tidak menutup diri hanya anggota-onggota GBKP, namun berbagai gereja juga datang termasuk agama Islam juga datang terlibat dalam kegiatan tersebut. Kegiatan ini biasannya juga disebut paskah Aron.
2.5. Tantangan Eksternal dan Internal yang menghambat Oikumenika di GBKP[16]
Tantangan Eksternal dan Internal yang menghambat oikumenika di GBKP juga dipengaruhi beberapa alasan, sebagai berikut:
1.      Masalah budaya orang karo misalnya dalam perayaan natal oikumene di tanah karo jikalau panitia dalam perayaan natal atau paskah tidak ada diikutsertakan orang-orang karo maka perayaan natal atau paskah tersebut tidak akan dihadiri orang-orang karo sekitar /tidak ambil bagian dalam acara tersebut. Artinya di sini orang-orang suku karo masih eksklusif.
2.      Jikalau perayaan natal atau paskah tersebut dipanitiai oleh aliran-aliran Kharismatik/ Pentakosta maka orang-orang yang di sekitar daerah tersebut tidak menghadiri acara tersebut. Artinya alur kebersamaan masih belum terlihat.
3.      Setiap gereja yang diunjuk dalam melakukan perayaan  sebagai tuan rumah masalah yang paling besar yaitu dalam masalah dana. Artinya dalam melancarkan setiap kegiatan hanya berada dalam kepanitiaan.

2.6.Program-Program GBKP Dalam Rangka Gerakan Oikumene[17]
Adapun rangka peningkatan gerakan oikumene maka perlu dilakukan program-program sebagai berikut :
  1. Membuat surat penggembalaan tentang oikumene dan bagaimana menyikapi aliran-aliran kharismatik.
  2. Mengadakan kegiatan oikumene di masing-masing wilayah pelayanan (runggun, klasis dan sinode).
  3. Perayaan hari besar gerejawi.
  4. Seminar tentang oikumene bagi warga jemaat dan pelayan khusus.
  5. Kerjasama oikumene dalam hal pertukaran informasi, pertukaran tenaga dan warga gereja serta peningkatan sumber daya manusia dengan gereja-gereja yang ada di dalam dan di luar negeri.
  6. Memberi bantuan bagi gereja-gereja yang membutuhkan baik dari segi dana dan daya.
  7. Mengadakan kerjasama oikumene kemasyarakatan (persaudaraan semua manusia) di masing masing wilayah pelayanan (runggun, klasis dan sinode) melalui dialog antar agama dan antar kepercayaan dalam semua aspek kehidupan dan kerjasama antar agama melalui proyek kemanusiaan seperti bencana alam, menyikapi penyakit sosial (judi, pelacuran dan lain-lain).
2.7. Biro Oikumene GBKP periode 2010 - 2015 sebagai berikut :[18]

Kepala Biro                                                                 : Pdt. Erick J. Barus, D.Th
Sekretaris                                                                    : Herawaty Br. Bangun
Anggota ex Officio                                                     : 1. Pdt. M. P. Barus, M. Th
                                                                    2. Pdt. Simon tarigan, S. Th
                                                                    3. Pdt. Rosmalia Br. Barus, S. Th
                                                                                         
III.             Kesimpulan
Oikumene menurut Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) yaitu sebuah  upaya gerakan kebersamaan gereja-gereja Kristen untuk menuju kesatuan. Oikumene dalam GBKP di dalam tata gereja GBKP ada dua pemahaman yaitu Oikumene Eksternal yaitu keterlibatan gereja dalam persekutuan Dewan gereja dunia, Dewan gereja Asia, Dewan geraja Indonesia, Dewan gereja Wilayah Sumatra Utara, dan Dewan Daerah (Kabupaten). Oikumenika Internal yaitu hubungan antar agama-agama berbeda aliran yang ada di seluruh Indonesia dan hubungan GBKP dengan Pemerintah dan masyarakat. Di dalam PGI, GBKP terlibat salah satunya sebagai pendukung program dan terlibat dalam program-program baik tingkat Dunia,  Asia, Indonesia, Wilayah Medan dan tingkat Daerah. Namun, dalam melakukan oikumene Eksternal dan Internal GBKP tidak terlepas dari tantangan. Namun GBKP tidak hanya terkungkung dalam tantangan Oikumene. Untuk memerangi tantangan tersebut GBKP selalu membuat program dalam melansungkan berartinya hidup beroikumene.
IV.             Daftar Pustaka
Hartono, Chris Gerakan Oikumenis di Indonesia. Yogyakarta: PPIP UKDW, 1984
Barus, Erik Hasil Wawancara yang Dilakukan di Kantor Moderamen GBKP, Kabanjahe, Tanggal 09 Oktober 2014, Pukul 13:30-14:30
Wellem, F.D. Kamus Sejarah Gereja, Jakarta : BPK-GM, 2006
Abineno,  J.L. Ch. Oikumene dan gerakan Oikumene. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984

Tarigan, MW. http://gbkp-sejarah.blogspot.com/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html di terbitkan pada hari Jumat, 27 April 2012, di akses pada tanggal 08 Oktober 2014 pukul 13.45 WIB

Sinuraya,  P. Cuplikan Sejarah Penginjilan kepada Masyarakat Karo, Medan: Berkat Jaya, 2002
Sinuraya, P. Diakonia GBKP Jilid 6,Medan: Merga Silima,1890
  Graaf SC van Randwijck, Oegstgeest, Jakarta : BPK-GM, 1989
Tata Gereja GBKP Tahun 2005-2015, Kabanjahe: Abdi Karya, 2005


[1] Chris Hartono, Gerakan Oikumenis di Indonesia. (Yogyakarta: PPIP UKDW, 1984),  1
[2] Dr. J.L. Ch. Abineno, Oikumene dan gerakan Oikumene. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 10.
[3] NZG didirikan pada 19 Nopember 1797 oleh orang-orang Kristen Belanda anggota gereja Hervormd yang dipengaruhi oleh semangat pietisme Bnd. F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2006),300
[4]  SC Graaf van Randwijck, Oegstgeest,(Jakarta : BPK-GM, 1989), 561
[5] Pdt. H.C.Kruyt lahir pada tahun 1862 di Semarang, ia adalah putera Pdt. Jan Kruyt seorang penginjil ternama di Jawa Timur. Kelima saudaranya juga menjadi penginjil atau menikah dengan penginjil. Salah seorang saudaranya bernama Pdt. Albert Kruyt, terkenal dengan ide penginjilan melalui pendekatan sosiologis. Pada usia 11 tahun ia memasuki sekolah Misi NZG di Rotterdam. Pada tahun 1884 dalam umur 22 tahun ia lulus dan segera ditempatkan di Tomohon Sulawesi Utara. Pada bulan April 1889, H.C. Kruyt ditugaskan memberitakan Injil kepada masyarakat Karo di Sumatera Utara. Ia ditemani N. Pontoh seorang pemuda Minahasa yang selama ini membantu mereka di Tomohon. Bnd. P. Sinuraya, Diakonia GBKP Jilid 6,(Medan: Merga Silima,1890), 26-27
[6]  P. Sinuraya, Cuplikan Sejarah Penginjilan kepada Masyarakat Karo, (Medan: Berkat Jaya, 2002), 4

[7] MW. Tarigan, http://gbkp-sejarah.blogspot.com/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html di terbitkan pada hari Jumat, 27 April 2012, di akses pada tanggal 08 Oktober 2014 pukul 13.45 WIB

[8] P. Sinuraya, Cuplikan Sejarah Penginjilan kepada Masyarakat Karo,4
[9] MW. Tarigan, http://gbkp-sejarah.blogspot.com/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html di terbitkan pada hari Jumat, 27 April 2012, di akses pada tanggal 08 Oktober 2014 pukul 13.45 WIB
[10] Moderamen adalah orang-orang yang terpilih menjadi pimpinan persidangan (Moderator). GBKP menyamakan arti Sinode dengan Moderamen  Bnd. Tata Gereja GBKP Tahun 2005-2015, (Kabanjahe: Abdi Karya, 2005), 24  
[11]  P. Sinuraya, Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo, 98-103 
[12] MW. Tarigan, http://gbkp-sejarah.blogspot.com/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html di terbitkan pada hari Jumat, 27 April 2012, di akses pada tanggal 08 Oktober 2014 pukul 13.45 WIB
[13] P. Sinuraya, Sejarah Penginjilan Kepada Masyarakat Karo, 172
[14] Erik Barus, Hasil Wawancara yang Dilakukan di Kantor Moderamen GBKP, Kabanjahe, Tanggal 09 Oktober 2014, Pukul 13:30-14:30
[15] Ibid, Barus, Hasil Wawancara yang Dilakukan di Kantor Moderamen GBKP
[16] Ibid, Barus, Hasil Wawancara yang Dilakukan di Kantor Moderamen GBKP

[17] Ibid, Barus, Hasil Wawancara yang Dilakukan di Kantor Moderamen GBKP


[18] Ibid, Barus, Hasil Wawancara yang Dilakukan di Kantor Moderamen GBKP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar