PEMBANGUNAN NASIONAL
SEBAGAI KONTEKS MISIOLOGI INDONESIA
I.
Pendahuluan
Salah
satu upaya yang dilakukan untuk bangsa
Indonesia adalah Pembangunan Nasional. Sebenarnya perinsip membangun pasti akan
membawa kepada keteraturan yang baik. Tetapi kenyataannya pembangunan Nasional
di Indonesia tidak dengan baik karena ada beberapa tantangan –tantangan. Dan tantangan
itu membawa rakyat Indonesia sebagian besar digolongkan dengan kata “menderita”. Untuk lebih jelasnya, penyaji akan mencoba
membahas mengenai sejarah pembangunan di Indosneia, apa-apa saja tantangan yang
di hadapi dalam membangun serta bagaimana pembangunan nasional sebagai onteks
misiologi Indonesia. Penyaji menerima
kritik dan saran yang membangun untuk menambah wawasan semuanya. Semoga paper
ini bermanfaat bagi semuanya.
II.
Pembahasan
2.1. Pengertian Pembangunan
dan Pembangunan Nasional
Pembangunan
merupakan pembinaan, hal (cara dan perbuatan), membangunkan.[1]Hakikat
pembangunan nasional adalah pembangunan Indonesia seutuhnya. Pembangunan ini
dilaksanakan sebagai pengamalan dari sila-sila dari Pancasila, dimana
pembangunan ini mencakup: pertama, kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang,
perumahan dan lain-lain. Kedua kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman,
rasa keadilan, dan ketiga, kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana
tercermin dalam perbaikan yang berkeadilan.[2]
2.2. Sejarah Pembangunan
Nasional di Indonesia
Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila
dimaksudkan untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam
Mukadimah UUD 1945, untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rayat Indonesia yang bedasarkan
pancasila dan UUD1945. Pada masa dua puluh tahun sejak kelahirannya
(1945-1965), NKRI yang dipimpin Soekarno sebagai presiden pertama RI menghadapi
tantangan berat dalam memprtahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI hinggan
mendapatkan pengakuan dari seluruh bangsa di dunia. Namun berbagai konflik
politik dan konflik bersenjata telah terjadi sehingga menghalangi pembangunan.
Dalam bidang konstitusional, Pancasila dan UUD 1945 dicoba digeser kedudukannya
sebagai dasar negara sehingga manimbulkan krisis konstitusi yang kemudian
bermuara pada terbitnya dekrit Presiden pada 1959 untuk mengembalikan NKRI ke
Pancasila dan UUD 1945 sesuai perjanjian luhur bangsa. Dalam bidang ekonomi,
diberlakukan ekonomi terpimpin yang disebut bukan sistem kapitalis dan bukan
sistem komunis. Dimana keadaan ekonomi menjadi terpuruk sampai bahan pokok
kehidupan rakyat tidak mencukupi. Akhirnya pada 1965 pemerintahan Soekarno
kemudian dikenal dengan sebutan Orde Lama dan digantikan oleh pemerintahan Orde
Baru.[3]
Pada zaman Orde Baru (sejak 1966-sekarang) ditandai
dengan pola pembangunan lima tahun dengan model pertumbuhan ekonomi yang
mengarah kepada industrialisasi sebagai pilihan utama agar kemakmuran
diperbesar. Semua keputusan dan pilihan ini tidak lepas dari keterbatasan
kebijaksanaan suatu negara yang belum lama merdeka, namun muncul dari
kepentingan-kepentingan politik negara berkembang itu sendiri (monopoli sektor
strategis dan basah untuk seelompok orang tertentu, investasi tanah dan modal
para birokrat dan kepentingan ekonomi negara-negara maju.[4]
Pada masa Orde Baru ini di bawah kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden kedua Republik
Indonesia, pemerintah melaksanakan pembangunan nasional yang juga dinyatakan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pedoman bagi
pembangunan nasional. Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila
merupakan pembangunan manusia Indonesia seluruhnya, dengan pancasila sebagai
dasar, tujuan dan pedoman pembangunan. Hal ini merupakan usaha untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan Pancasila
untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu
pemerintahan Orde Baru menetapkan strategi Trilogi Pembangunan yang merupakan
indikator utama versi pemerintah, yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan
ekonomi, dan pemerataan. Pembangunan ekonomi Orde Baru yang dengan jelas
menunjukkan kemajuan dibanding dengan masa Orde Lama ternyata tidak mempunyai
fondasi dalam semua bidang. Akhirnya Krisis moneter 1997 yang berkembang
menjadi krisis multidimensional telah secara nyata membuktikan rapuhnya fondasi
ekonomi itu. Dalam waktu singkat nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika
merosot secara drastis dari Rp. 2.400/ Dollar sebelum krisis menjadi lebih dari
Rp. 15.000/ Dollar. Banyak perusahaan bangkrut dan mengakibatkan peningkatan
jumlah pengangguran. Jumlah masyarakat miskin meningkat tajam dari sekitar 28
juta orang pada tahun 1966 menjadi 53 juta orang pada tahun 1988. Ketidakpuasan
rakyat memuncak dan politik militeristik yang dianut Orde Baru tidak mampu
meredamnya. Orde Baru jatuh dan masa reformasi pun dimulai. Kejatuhan Orde Baru
memunculkan reformasi yang bersifat mendasar dalam sejarah Republik Indonesia,
yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem pembangunan juga
mengalami reformasi. GBHN tidak lagi ditetapkan MPR seperti pada masa
sebelumnya. Pembangunan diatur berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN) yang didalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20 Tahun),
jangka menengah (5 tahun) dan pembangunan tahunan.[5]
Menurut GBHN 1993 Pembangunan Nasional bertujuan untuk
mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual
berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI yang merdeka berdaulat,
bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman,
tenteram dan tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka,
bersahabat, tertib dan damai. Mengingat tujuan pembangunan yang begitu luhur,
maka dalam pelaksanaan pembangunan, para penyelenggara negara dan masyarakat
harus memiliki mental, tekad, jiwa dan semangat pengabdian serta ketaatan dan
disiplin yang tinggi dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara
kepentingan pribadi atau perorangan.[6]
Pembangunan yang sempat terpuruk karena krisis multidimensional pada 1997,
secara bertahap mulai pulih pada era reformasi. Nilai tukar dapat distabilkan
pada tingkat sekitar Rp. 9.000/ Dollar Amerika sejak 2004. Jumlah masyarakat
miskin yang tadinya sekitar 53 juta orang pada 1998, turun menjadi sekitar 30
juta orang pada 2004.
2.3.
Tantangan Pembangunan Nasional secara
umum
Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat dua arus
pandangan mengenai pembangunan nasional. Pertama, para pelaksana pembangunan
nasional yang bertitik tolak pada peningkatan pembangunan ekonomi, dan kedua,
dari pengamat yang mempertanyakan ulang titik berat pembangunan nasional.
Dengan adanya perbedaan pemahaman dan peletakan titik berat pembangunan
tersebut maka terlihat pula hambatan utama dalam pelaksanaan pembangunan.
Adapun hambatan dalam pelaksanaan pembangunan tersebut yaitu:[7]
a) Pembangunan
nasional menitik beratkan kepada bidang ekonomi, hambatan yang utama bertumpu
kepada pembangunan penduduk dan masyarakat, perkembangan sumber daya alam dan
lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup kebudayaan, perkembangan
ruang lingkup internasional. Keempat masalah ini selalu dilihat dalam
hubungannya dengan perkembanagan ekonomi.
b) Pentingnya
kesadaran pembangunan akan pentingnya pendekatan yang bersifat multi
disipliner, pemahaman yang baru tentang ruang dan waktu, kesadaran mengenai
hakikat yang abstrak dari hal-hal yang paling fundamental dari ilmu, kesadaran
mengenai kompleksitas yang semakin rumit dari setiap bidang atau objek
pembangunan. Tantangan utama bagi golongan ini adalah bagaimana keadilan sosial
dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran ini muncul karena pembangunan
membawa perubahan yang lebih cepat dan dimanfaatkan oleh mereka yang mampu,
berkeahlian dan mempunyai modal, sehingga kelompok ini cenderung tumbuh lebih
cepat dari pada mereka yang tidak mampu, tidak berkeahlian dan tidak bermodal.
2.4.
Tantangan Pembangunan Nasional secara
Khusus
Ada pun tantangan Pembangunan Nasional secara
khusus adalah sebagai berikut:[8]
1. Ancaman
terhadap Pancasila sebagai dasar negara
Masalah
ideologi bangsa merupakan masalah mendasar yang di hadapi sejak lahirnya NKRI
dan telah berhasil diselesaikan para pendiri bangsa dengan menetapkan Pancasil
yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar NKRI. Ideologi Pancasila
merupakan ideologi pemersatu bangsa yang paling menentukan eksistensi NKRI. PKI
(Partai Komunis Indonesia) pernah mencoba menggugat perjanjian luhur itu dengan
menunggugani konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) Soekarno. Namun sejak
peristiwa pembunuhan jendral di lingkungan angkatan darat pada September 1965
yang berlanjut dengan pembubaran PKI, komunisme dilarang dengan ancaman
sekarang ini tidak sebesar zaman orde lama ini. Gugatan terhadap perjanjian
luhur juga datang dari sebagian golongan/kelompok ekstrim (kelompok yang tidak
nasionalis) yang menghendaki diberlakukannnya syariat Islam di NKRI. Keinginan
ini tidak mungkin dipenuhi oleh NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
maka kelompok-kelompok ini tidak segan-segan menjalankan politik kekerasan dalam
bentuk pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Semua
pemberontakan itu berhasil di tumpas baik orde lama maupun orde baru cenderung
menggunakan cara perjuangannya tidak secara terang-terangan menggunakan
kekerasan untu mengatasi golongan yang ingin memaksakan syariat Islam di
Indonesia. Cara ini terbukti efetif untuk mengukuhkan Pancasila sebagai dasar
negara yang tidak dapat di gugat oleh siapa pun. Pada masa reformasi
pemerintahan, kegiatan seperti tidak mempunyai konsep ynag dapat ditawarkan
untu memantapan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan yang hidup dalam hati
nurani rakyat. Bahkan terkesan kompromistis dengan mengizikan salah satu
provinsi NKRI yakni Aceh yang memberlakukan Syariat Islam. Sikap inilah
seolah-olah membiarkan penyimpangan yang mendasar itu dapat memperlemah
kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan dapat merusak persatuan. Oleh
karena itu pemerintahan pada era reformasi seharusya memfasilitasi dialog dalam
masyarakat tentang perlunya pemantapan Pancasila sebagai dasar negara.
2. Masalah
kemiskinan dan ketidakadilan
Cita-cita
kemerdekaan NKRI adalah masyarakat adil dan makmur dan sejahtera. Namun hingga
sekarang cita-cita ini belum tercapai dan belum terliat dengan jelas kapan akan
tercapai. Kemiskinan masih menjadi masalah besar bangsa. Secara kasat mata
dapat terlihat banyak fakir miskin dan anak-anak terlantar yang tidak
dipelihara negara. Banyak warga negara yang tidak mendapat pekerjaan dan tidak
mempunyai penghidupan yang layak. Namun diperlukan percepatan penurunan
penduduk miskin untuk menuju cita-cita bangsa. Hal ini menjadi tantangan besar
bagi negara dan masyarakat Indonesia. Hasil pembangunan harus dinikmati oleh
semua rakyat di semua wilayah NKRI secra adil dan tidak boleh ada yang
terabaikan. Keadaan ini alau tida segera
ditanggulangi akan mengakibatkan sasaran pembangunan jangka panjang yang
mencanangkan jumlah penduduk miskin tida lebih 5% sulit dicapai.
3. Masalah
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
Kegagalan
negara untuk mensejahterakan rakyat sesuai cita-cita kemerdekaan tidak terlepas
dari korupsi yang boleh dikatakan sudah membudaya di Indonesia. Masalah KKN ini
merupakan salah satu faktor yang mnyebabbkan ketidak puasan rakyat pada rezim
orde baru. Tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan tindak pidana yang luar
biasa (extra ordinary crime) yang
membutuhkan cara penanganan yang luar biasa juga. hal ini disadari pada permulaan era reformasi
dan menjadi pertimbangan dalam pemberntukan suatu lembaga baru yang bersifat
luar biasa yakni komisi pemberantasa korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan UU
No. 30 tahun 2002. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat tidak percaya lagi pada
aparat penegak hukum yang sudah ada yakni kepolisian dan kejaksaan, mempunyai
kemauan dan kemampuan untu memberantas korupsi. Korupsi melanda hampir semua lembaga
dan semua wilayah kekuasaan NKRI.
4. Masalah
kerukunan
Salah
satu masalah yang menjadi pergumulan bangsa adalah kerukunan di antara
masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai komunitas dengan beraneka ragam
agama dan budayanya. Seebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya, wawsan Bhinneka Tunggal Ika seharusnya menjadi
perekat yang mempersatuan masyarakat
Indonesia. Ternyata bangsa ini justru mengalami banyak konflik dan beberapa
dekade terakhir ini seperti :
·
Kasus Aceh dengan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
·
Kasus Papua dengan
organisasi Papua Merdeka (OPM)
·
Kasus Maluku dengan
Republik Maluku Selatan (RMS)
·
Konflik antar Suku
Dayak dan Suku Madura di Kalimantan Barat
·
Konflik komunal Agama
di Maluku dan Sulawesi Tengah (Ambon di Poso)
Salah
satu sebab terjadinya masalah di atas adalah masalah ketidakadilan. Rakyat
kecewa atas ketidakadilan yang berkelanjutan dalam negara Pancasila sebagai
mana nyata dari kesenjangan dalam berbagai kehidupan masyarakat.
5. Masalah
lingkungan hidup
Masalah
lingkungan hidup juga merupakan salah satu yang dihadapi bangsa Indonesia.
Kerusakan lingkungan hidup akibat kebodohan, ketidakpedulian, dan kecerobohan
terjadi secara luas seperti kerusakan terumbu karang, pembakaran hutan, sampah,
indutrialisasi dan pengendalian dampak lingkungan yang tidak memadai,
pengundulan hutan dan reboisasi yang tidak berjalan semestinya dan lain
sebagainya.
6. Masalah
otonomi daerah
dalam
era otonomi daerah ini teramasuk di dalamnya adalah mengatur pembagian
pendapat, wewenang dan kekuasaan antara pemerintah daerah dan pusat. Dengan demikian daerah-daerah memiliki
keleluasaan yang jauh lebih besar untuk membangun daerahnya sendiri. Perubahan
yang mendadak ini tampaknya membawa banyak kejutan di daerah-daerah. Banyak daerah
yang belum siap dengan pemimpin-pemimpin lokal yang memadai. Permasalah yang
muncul adalah masalah transisi dari sistem sentralistis yang lama menjadi
sistem desentralistis yang baru.
Berbagai perundang-undagan dan pertauran terkait masih dalam proses.
Tidak semua daerah berhasil menarik minat para ahli untuk membangun daerahnya.
7. Masalah
globalisasi
Globalisasi
menimbulkan peningkatan saling keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan
antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya
dan melalui berbagaai bentuk interaksi lainnya yang bersifat lintas perbatasan
bangsa-bangsa. Globalisasi mempunyai dampak positif dan negatif bagi Indonesia
karena pengaruh baik dan buruk datang dari luar dengan tingkat kecepatan yang
sangat tinggi. Karena itu pada dasarnya globalisasi dapat menjadi peluang yang
menguntungkan bagi kemajuan bangsa namun bisa juga menjadi ancaman terhadap
ketahanan nasional. Dampak globalisasi yang sangat menimbulkan kesulitan di
Indonesia sampai saat ini adalah masalah terorisme internasional yang mengusung
slogan jihad. Radikalisasi agama yang merupakan fenomena global harus
diwaspadai dan diantisipasi dengan baik. Terorisme global pada dasarnya
dilandasi oleh suatu ideologi terorisme.
2.5. Pembangunan Nasional
Sebagai Konteks Miosiologi Indonesia
Pembangunan
nasional sebagai pengamalan Pancasila (PNSPP) dan pembangunan Tubuh Kristus
(misi orang beriman). Di dalamnya terdapat semacam hubungan “tugas” yang bukan
hanya sekedar berisi hubungan antara gereja dan negara, tetapi misi gereja
dalam mempengaruhi pembangunan yang sedang berlangsung pada masa sekarang ini.
Dalam sejarahnya di Indonesia, usaha gereja untuk mempengaruhi Pembangunan
nasional sebagai pengamalan Pancasila (PNSPP) sudah dimulai sejak berdirinya
gereja, yang terdapat dalam bidang-bidang pendidikan dan kesehatan. B.A. Supit
mencatat bahwa sesudah Sidang Raya DGI VII di Pematang Siantar pada tahun 1971,
gereja-gereja mulai disadarkan bahwa partisipasi dalam pembangunan di Indonesia
harus melebihi cara-cara pelayanan yang tradisional warisan zending.[9]
Adapun
dimensi Pembangunan Nasional yang
diperhadapkan dengan Gereja yang
menunjukkan peran serta dewasa ini adalah:
1.
Masalah lingkungan
hidup [10]
Gereja
dalam misinya meliputi segala makhluk (Mark. 16:15) harus mempertanyaan dan menggumuli hakikat lingkungan serta
segala isinya. Gereja secara nasional dan lokal harus memberi jawaban kepada
jemaat atas pertanyaan, mana yang lebih penting : memperjuangkan pembangunan
“mengisi perut manusia” ataukah membngun lingkungan hidup bagi “kelestarian
binatang”. Gereja juga harus mampu mengajak arga jemaat agar di dalam
mangusahakan kebutuhan sehari-hari
supaya bersikap lebih life
oriented dari pada human oriented. Kedudukan manusia yang diciptakan oleh Allah
dalam hubungannya dengan alam adalah sebagai wakil, sebagai gambar Allah. Dia
adalah wakil Allah untuk memelihara alam dan sebagai ciptaan, ia adalah wakil
ciptaan untuk mengerti kehendak Allah (Kej.1:26-28)
2.
Ketata-ruangan dalam
pembangunan [11]
Dalam
pembangunan nasional masalah ketata-ruangan menjadi masalah besar. Penggusuran
rumah penduduk dan untuk keperluan pembangunan masih saja terjadi sampai
sekarang dan mungkin tidak terbentang.
Berbagai alasan seperti pembangunan jalan, perluasan proyek pemerintahan
atau swasta, cuup kuat untuk menggusur warga kota untuk menyingkir. Ribuan
keluarga saat ini sendang bergulat mempertahankan keadaan rumah dan lahannya.
Berbagai pakar memprediksikan bahwa tahun-tahun mendatang tidak mustahil korban
penggusuran akan semakin bertambah bila UU tentang perumahan dan pemukiman itu
tidak dioperasionalisasikan sebanyak mungkin untuk kepentingan rakyat kecil.
Dalam situasi demikian misi gereja adalah mempengaruhi
fungsionaris-fungsionaris pembangunan upaya mengadakan perencanaan yang matang dan berwawasan
kerakyatan. Daalam Alkitab di jelaskan bahwa pencaplokan hak tersebut adalah
sesuatu yang jahat di mata Tuhan, sehingga harus di hukum (1Raj.21:20).
3.
Kepariwisataan [12]
Dalam
menggalakkan kepariwisataan, gereja juga mempunyai peranan yang sangat penting.
Tugas misi dalam bidang pariwisata ini tidalah di titikberatkan pada penambahan
sumber devisa negara, tetapi lebih di fokuskan kepada amanat Injil, supaya
setiap orang mempu memberi tumpangan kepada orang lain dengan tidak
bersungut-sungut (1 Pet.4:9). Setiap orang Kristen harus menyadari arti
kepariwisataan di dalam hubungannya dengan tindakan Allah yang membimbing
umatnya keluar dari kehidupan sehari-hari, dari tugas-tugas rutin yang
melelahkan “perbudakan tugas-tugas” (bdk. Ul.6:21)
4.
Konteks persatuan dan
kesatuan di Indonesia dengan hubungan Pancasila sebagai dasar negara [13]
Dalam
konteks persatuan dan kesatuan di Indonesia dengan hubungan Pancasila sebagi
dasar negara, gereja perlu brgandengan tangan dengan semua komponen masyarakat
untuk mengokohkan kedudukan Pancasila dengan jalan mengamalkannya secara kritis
dan relevan dalam kehidupan masyarakat. Ciri orang percaya adalah setia pada
perjanjian. Karena itu perlu di jauhkan sikap yang mengingkari perjanjian luhur
para pendiri bangsa dengan menolak segala pengkhianatan terhadap janji itu.
Sebagai komunitas yang diciptakan oleh kuasa dan kassih Tuhan, Gereja harus
menjadi contoh ditengah-tengah masyarakat.
5.
Konteks Kemiskinan dan
ketidakadilan[14]
Dalam
konnteks kemiskinan dan ketidakadilan Gereja haruslah menjadi contoh yang dapat
dilihat oleh seluruh masyarakat bagaiman hidup yang berkeadilan dan bebas dari
kemiskinan. Jemaat perdana hidup dalam persekutuan, saling berbagi dan tidak
ada di antara mereka yang berkekurangan.
6.
Dalam konteks Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN)[15]
Dalam
konteks KKN, Gereja haruslah menjadi contoh
sebagai komunitas yang bebas dari KKN. Untuk itu setiap dosa dalam
komunitas Kristen harus di tanggulangi bukan di sembunyikan. Pertobatan dan
pengampunan haruslah menjadi praktik normal dalam gereja. Semua orang saling
memperhatikan dan saling menegor. Kalau ini di lakukan secara konsekuen,
seharusnya tidak ada warga Gereja yang melakukan KKN. Kenyataanya dari 153 nama
terhukum yang dijadikan tersangka oleh
KPK tahun 2005-2009 terdapat juga orang-orang beragama Kristen. Gereja perlu introspeksi diri. Dalam hal ini
agar dapat menjadi berkat bagi bangsa.
7.
Konteks kerukunan[16]
Gereja
haruslah menjadi pembawa damai sejahtera dan menjadi contoh komunitas multi-etnis yang sudah mengalami damai sejahtera itu.
Kerajaan Allah adalah kebenaran damai sejahtera dan suka cita oleh Roh Kudus.
Gereja adalah persekutuan anak-anak Allah yang selalu membawa damai. Gereja juga
dapat menjadi contoh kesatuan dalam keanekaragaman.
8.
Konteks otonomi daerah[17]
Dalam
ontek otonomi daerah Gereja tidak boleh ketinggalan dalam mempersiapkan kader-kader
pemimpin dalam segala bidang. Bangsa Indonesia sedang menhadapi suatu proses
perubahan besar dan seluruh komponen bangsa termasuk orang-orang Kristen ada
dalam proses tersebut. Dalam konteks sekarang ini di butuhkan perhatian yang lebih besar dari
gereja dan lembaga-lembaga Kristen untuk menggalang pelayan Kristen dalam
berbagai bidang seperti pendidikan, ekomomi, sosial, politik dan lain-lain agar
ikut berperan menentukan arah perubahan kearah yang lebih baik.
9.
Konteks globalisasi [18]
Dalam
konteks globalisasi Gereja haruslah menjadi pembawa damai sejahtera Kristus
kepada semua suu bangsa di seluruh dunia dengan memberitakan Inji Yesus Kristus
yang penuh kuasa itu. Sementara itu Gereja harus menjaga dirinya dalam
kekudusan, tidak di cemari oleh hedonisme dan cinta uang. Setiap komponen bangsa termasuk orang-orang
Kristen harus menjadi agen-agen pembaharuan yang aktif.
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas dapat di simpulkan bahwa proses pembangunan nasional di
Indonesia sangatlah panjang. Pembangunan
yang di mulai dari pada masa orde lama hingga masa reformasi ini memiliki
tantangan masing –masing sehingga dalam penyelesaiannya juga berbeda. Adapaun tantangan dalam Pembangunan
Nasional adalah ancaman terhadap
Pancasila sebagai dasar negara, masalah kemiskinan dan ketidakadilan,
kerukunan, lingkungan hidup, otonomi daerah. globalisasi, ekonomi serta yang
lainnya. Dan melalui tantangan ini penyajia apa yang akan di bangun sebagai
konteks misiologi Indonesia. Dimana dalam pembangunan nasional sebagai konteks
misiologi Indonesia mengupayakan bagaimana agar setiap warga atau rakyat Indonesia mendapatkan kehidupan yang
layak baik segi batin, jasmani, pekerjaan, kesejahteraan dan penghargaan.
IV.
Daftar
Pustaka
Artanto, Widi., Menjadi Gereja Misioner, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Campbell, John., Bendalina Nelson, dkk, Mengupayakan Misi Gereja Yang
Kontekstual, Jakarta: PERSETIA, 1995
John Ruck, Anne Ruck, dkk., Jemaat Misioner, Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011
Poerdamarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1987
Sairin, Weinata., Gereja Agama-Agama & Pembangunan Nasional, Jakarta: BPK-GM,
2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar