SCITO TE IPSUM

The greatest thing in all my life is knowing you. I want to know you more. The greatest thing in all my life is loving you. I want to love you more. The greatest thing in all my life is serving you. I want to serve you more.

Minggu, 16 November 2014

Tafsiran dari Bilangan 13:1-16 Penafsiran Kontekstual (Metode Teologi Pembebasan)



I.         Pendahuluan
Salah satu penafsiran yang dapat membantu kita dalam memahami dan mengetahui apa yang terjadi dan memiliki makna yang tersirat dari dalam teks. Pada sajian kali ini metode yang dipakai adalah bagian dari penafsiran kontekstual yaitu metode pembebasan. Dalam hal ini kita akan membahas bagaimana teologi pembebasan yang terdapat dalam penafsiran Bilangan 13:1-16. Kiranya paper ini dapat menambah pengetahuan dan menambah wawasan kita.
II.      Pembahasan
2.1. Teologi Pembebasan
            Berdasarkan etimologi kata, teologi pembebasan terdiri dari dua suku kata yakni: ‘Teologi’ dan ‘Pembebasan’. Menurut Karl Rahner, teologi adalah pembicaraan mengenai Tuhan secara legendaris atau filosofis. Oleh karena itu Rahner mengatakan bahwa Teologia merupakan suatu usaha yang sadar dari Kristiani untuk mendengarkan bisikan  wahyu/ sabda yang dinyatakan oleh Tuhan dalam sejarah, menyerap pengetahuan tentang-Nya dengan menggunakan metode-metode keilmuan serta merefleksikan tuntutan-tuntutan langkah-Nya dalam tindakan. Segundo merumuskan teologia sebagai “fides quaerens intellectum” yang artinya iman yang pengetahuannya untuk mengarahkan praksis dalam sejarah. Menurut Leonardo Boff, pembebasan adalah sebuah proses menuju kemerdekaan. Gustavi Gutierrez menyatakan bahwa pembebasan adalah usaha untuk melepaskan diri dari kekerasan yang melembaga yang menghalangi terciptanya manusia baru dan dibangkitkannya solidaritas antar manusia.[1]
Teologi Pembebasan Pertama kali muncul di Amerika Latin dan teologi ini lahir sebagai reaksi keadaan politik yang menyengsarakan rakyat karena pada saat itu diberlakukan struktur kekuasaan dan pemerintah Marxist di amerika Latin yang mendorong penguasa untuk menindas, melecehkan, dan mengabaikan hak-hak azasi rakyatnya. Lalu teologi ini semakin meluas kewilayah Korea dan India. Di Korea disebut teologi Minjung dan di India disebut teologi Dalit.[2]
            Secara umum yang menjadi latar belakang pembebasan ini adalah adanya ketidakadilan ketertindasan yang melingkupi masyarakat sehingga sulit mencapai kebebasan dan keselamatan hidup. Teologi ini pada umumnya lahir dinegara-negara yang kehidupan masyarakatnya berada dalam kemiskinan, kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, rendahnya perlakuan hak azsdi manusia, kurangnya pendidikan dan hal-hal lain yang dapat menrugikan masyarakat. Dengan situasi demikian, hermeneutika pembebasan mulai dengan pengalaman tentang ketidakadilan harta milik. Dan upaya yang dilakukan adalah untuk berusaha menganalisis atau menguraikan alasan terhadap keberadaan yang memiskinkan itu.[3]

2.2. Langkah-Langkah Penafsiran Teologi Pembebasan[4]
            Ada beberapa langkah-langkah yang perlu diperhatikan didalam menafsirkan teks Alkitab  dengan metode Teologi Pembebasan, yaitu  sebagai berikut:
1.      Harus menetapkan teks yang akan ditafsir.
2.      Melakukan perbandingan teks (bahasa) dengan versi-versi terjemahan atau dari berbagai bahasa dan dihadapkan dengan teks asli (teks masora).
3.      Membuat kritik aparatus
4.      Membuat terjemahan akhir
5.      Teologi Pembebasan:
a.       Menentukan pihak tertindas dan pihak penindas
b.      Penafsir memposisikan diri pada pihak menindas
c.       Pembacaan Alkitab dari bawah (sudut pandang orang-orang yang tertindas)
6.      Tafsiran
7.      Refleksi dan kesimpulan
8.      Daftar Pustaka
2.3.  Kitab Bilangan
2.3.1.      Kitab Bilangan
Kitab Bilangan adalah kitab keempat dari Pentateuk yang isinya mengenai kelanjutan kisah Keluaran bangsa Israel dengan YHWH. Judul asli kitab ini dalam bahasa Ibrani adalah “di Padang Gurun”, yang di ambil dari pasal 1:1.[5] Tepat Nama kitab ini sesuai dengan isi kitab yang mengisahkan perjalanan umat Israel dalam perjalanan di padang Gurun dari Mesir menuju ke dataran Moab.
Dalam bahasa Inggris Bilangan disebut numbers. Bilangan adalah terjemahan dari  nama Perjanjian Lama Yunani (LXX) dari kata Arithmoi, yang mencerminkan dua kasus perhitungan  yang dilakukan tehadap umat Israel dan diceritakan dalam pasal 1 dan Pasal 26.[6]
2.3.2.      Latar Belakang Kitab  
Kitab Bilangan berawal dari perjalanan orang Israel dari Sinai (Titik akhir kitab Keluaran) keprbatasan tanah Kanaan di Kodes-Barnea. Kemudian kembali mengembara di padang Gurun selama 40 tanuh sampai tiba didataran Moab, dimana mereka bersiap-siap untuk masuk tanah Kanaan.[7] Kitab Bilangan ini juga memberitahukan hukuma bagi orang-orang yang tidak percaya maka penghukuman mereka tidak seorangpun dari generasi yang tidak beriman itu dapat memasuki negeri itu (Bd. Ulangan 1:35-36). Karena itu kitab Bilangan bukanlah sekedar kitab sejarah saja, tetapi menceritakan perbuatan Allah terhadap bangsa Israel dalam perjalanan.[8]
2.3.3.      Penulis dan Waktu Penulisan
Secara tradisi, para sarjana Yahudi dan Kristen mengangap bahwa  penulis kitab Bilangan adalah Musa, pemberi hukum umat Yahudi. [9] Namun kitab itu sendiri hanya berisi satu rujukan yang menyebutkan Musa sebagai penulis kitab tersebut yaitu rencana perjakanan umat Israel dalam perjalanan di padang gurun dari Mesir ke Moab (Bilangan33:2).[10] Tahun penulisan kitab Bilangan ini adalah tahun 1405 sM.[11]

2.4.  Analisa Struktur
2.4.1.      Struktur Kitab [12]
v  Di Sinai:Persiapan keberangkatan                                        Bil. 1:1 - 10:10
Sensus pertama                                                                    Bil. 1
Perkemahan suku-suku Israel dan para pemimpinnya         Bil.  2
Jumlah dan kewajiban orang Lewi                                      Bil. 3 – 4
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan                              Bil. 5
Hukum mengenai kenaziran                                                 Bil. 6
Persembahan pada waktu penahbisan Kemah Suci             Bil. 7 – 8
Ketetapan-ketetapan  mengenai perayaan Paskah               Bil. 9: 1-14
Tiang awan meminpin perjalanan Israel                               Bil. 9: 15 – 10:10
v  Perjalanan dari Sinai ke Kadesy                                          Bil. 10:11 - 12:16
Berangkat dari Sinai                                                            Bil. 10:11-36
Peristiwa-peristiwa dalam perjalanan                                   Bil. 11 – 12
v  Di Kadesy dalam padang gurun Paran                                Bil. 13 – 20
Kedua belas pengintai dan laporan mereka                    Bil. 13
Keputusan Umat dan penghukuman Allah                          Bil. 14
Hukum dan Peraturan                                                          Bil. 15
Pemberontakan Korah                                                         Bil. 16
Kisah tongkat Harun                                                            Bil. 17
Bagian para Imam                                                                Bil. 18
Pentahiran orang yang najis                                                 Bil. 19
Peristiwa penutup di Kadesy                                               Bil.20:1-13
v  Perjalanan dari Kadesy ke Dataran Moab                           Bil. 20:14 – 22:1
Penolakan Edom                                                                  Bil. 20:14-21
Kematian Harun, kemenangan atas musuh-musuh              Bil. 20:22 – 22:1
v  Di dataran Moab                                                                  Bil. 22:2 – 32:42
Bileam dan Balak                                                                 Bil. 22:2 – 24:25
Kemurtadan di Peor dan hukuman Allah                            Bil. 25
Sensus Kedua                                                                      Bil. 26
Anak-anak perempuan Zelafehad;
hak waris bagi anak-anak perempuan                                  Bil. 27:1-11
Yosua ditunjuk untuk menggantikan Musa                         Bil. 27:12-23
Persembahan pada perayaan-perayaan                                 Bil. 28-30
Pembalasan atas orang Midian                                             Bil. 31
Warisan suku-suku Transyordan                                          Bil. 32
v  Hal-hal lain                                                                           Bil. 33 – 36
Tinjauan perjalanan dari Mesir                                             Bil. 33
Batas-batas tanah orang Israel                                             Bil. 34
Kota-kota orang Lewi                                                          Bil. 35
Anak-anak perempuan Zelafehad dan
 hak waris anak-anak perempuan                                         Bil. 36

Pada saat ini kami akan membahas/ menafsirkan Bilangan 13:1-16. Ayat ini berada pada saat bangsa Israel berada di Padang Gurun Haran.

2.4.2.      Struktur Teks
Setelah penafsir membaca teks yang akan di tafsir yaitu Bilangan 13:1-16, maka analisa penafsir terhadap teks adalah:
1.      Ayat 1-2                  : Allah berfirman kepada Musa
2.      Ayat 3                     : Musa melaksanakan perintah Tuhan
3.       Ayat 4-15               : Daftar nama-nama yang di utus Musa
4.      Ayat 16                   : Pergantian nama Hosea menjadi Yosua

2.5.   Analisa teks
2.5.1.      Perbandingan Bahasa
Dalam perbandingan bahasa terhadap teks ini, penafsir menggunakan 3 bahasa seperti:
1.      LAI         : Lembaga Alkitab Indonesia
2.      NIV        : New  International Version
3.      BPH        : Bibel Pakon Haleluya
4.      TM          : Teks Masora
Ayat 1
LAI     :Berfirman
NIV     : Said (Berkata)
BPH    : nini (berkata)
TM      : וַיְדַבּר  (dan berbicara)
Kesimpulan: tidak ada yang mendekati TM
Ayat 2a
LAI    : Beberapa Orang
NIV   : some men (bebrapa laki-laki)
BPH   : dalahi ( laki-laki)
TM     :  אֲנׇשִׁים“anasim” (para laki-laki)
Kesimpulan yang mendekati TM ialah NIV
     Ayat 2b
LAI     : Mengintai
NIV     : Explore (meyelidiki)
BPH:   : mangkahapi (melihat)
TM      : וְיָתֻרוּ(seharusnya kamu mengirim)
Kesimpulan tidak ada yang mendekati TM
Ayat 3a
LAI    :  Menyuruh
NIV   : Sent (mengirim)
BPH   :  Isuruh (disuruh)
TM     : וַיִּשְלַח   (dan mengirim)
Kesimpulan: yang mendekati TM ialah NIV
   Ayat 3b
LAI     :  titah
NIV     : Command (perintah)
BPH    :   Hata (ucapan)
TM      :  עֵל־פּׅי (pada perkataan)
Kesimpulan: tidak ada yang mendekati TM
Ayat 4 –ayat 15
Tidak ada perbedaan yang signifikan
Catatan:
 Dalam melakukan perbandingan bahasa kami para penyaji menemukan kata-kata yang berulang kali ditulis. Oleh sebab itu Kami para penyaji mengubah setiap kata yang sama. Misalnya dalam ayat 2 (dua) ada kata dan seharusnya kamu mengirim, kata ini juga terdapat pada ayat 16.
2.5.2.      Kritik Aparatus
Ayat 1
Dalam ayat 1 terdapat kata  (וַיְדַבֵּר) yang artinya dan berbicara adalah mendapat usulan dari teks Pentateuk, berbahasa Ibrani dari Samaria tahun 1914-1918 yang kodeksnya ditulis huruf kecil, dari terjemahan Siria yang diteliti oleh Origenes, mengusulkan supaya menempatkan kata didepan yang sesuai dengan kitab Ulangan 1:20-23a (וׇא֯מַר), yang berarti kata (וַיְדַבֵּר) pada ayat 1 diganti dengan kata (וׇא֯מַר).
Perbandingan :
Dibber digunakan untuk menunjukkan tindakan berbicara, sedangkan 'amar diperlukan sebelum wacana langsung yang berikut. conversaly, laporan secara harfiah dicatat dalam Kejadian 27:1-4, 29:4-8, 39:7-9 maupun semua diperkenalkan oleh 'amar tetapi kemudian disimpulkan pada akhir dalam hal dibber. Dengan demikian, berbeda dengan 'amar, dibber memiliki pengertian yang lebih komprehensif dan menyeluruh, itu meringkas percakapan secara keseluruhan di awal atau di akhir, sehingga secara umum itu harus diterjemahkan, "untuk berbicara, berkomunikasi, berkomunikasi dengan ". Arti umum juga dapat dilihat mungkin dalam kontras antara "berbicara dan melakukan" (Yeheskiel 17:24), atau dalam ungkapan seperti "berbicara bahasa" (Yesaya 19:18, Nehemia. 13:24) maupun "mengetahui bagaimana berbicara "(Jeremia.1: 6), yang mengacu pada berbicara secara keseluruhan (Ayub 34:35, Jeremia 5:15). [13] Sehingga dapat disimpulkan bahwa kata dabar  itu digunakan untuk manusia sedangkan kata untuk perkataan Tuhan.
Kesimpulan: Kami para penyaji menerima usulan aparatus karena kata yang cocok untuk Tuhan adalah ‘amar bukan kata dibber.
Ayat 2
Dalam ayat 2 terdapat kata (תִּשְׁלׇחוּ) yang artinya adalah seharusnya kamu mengirim terdapat dalam  teks Pentateuk, berbahasa Ibrani dari Samaria tahun 1914-1918, terjemahan dari Yunani yang diterbitkan oleh A.Rahlfs tahun 1935, terjemahan Siria yang disusun berdasarkan keselarasan SA dan SW yang tunggal.
Kesimpulan: kami para penyaji menerima kritik apparatus dari teks pentateuk, karena kata (תִּשְׁלׇחוּ) hanya untuk memperjelas dan juga menunjukkan kalau kata seharusnya kamu mengirim yang terdapat pada ayat 2
Ayat 3
Dalam ayat 3 terdapat kata ( פׇארׇן) yang artinya Paran. Kata ini adalah terdapat dalam  teks Pentateuk, berbahasa Ibrani dari Samaria tahun 1914-1918, kata ( פׇארׇן) ini seperti yang terdapat pada Bilangan 10:12a yang tertulis  ( פׇארׇן) yang artinya Paran.
Kesimpulan: kami penyaji menerima kritik apparatus yang dari teks Pentateuk, karena kata    ( פׇארׇן) hanya untuk memperjelas dan juga menunjukkan kalau Paran yang dimaksud dalam ayat 3 ini sama halnya dengan Paran yang ada pada ayat 10.
Ayat 7
Dalam ayat 7a terdapat kata (בֶּן־יו֯סֵף) yang artinya anak dari Yusuf. Kata (בּן־יו֯סֵף)  rusak  dari kata (לִבְנֵי י) “berasal dari kata בֵּנ  (bentuk jamaknya menjadi “בְּנֵי” yang artinya anak-anak) + לְ = “לִבְנֵי  artinya menjadi untuk anak-anak. Pindahkanlah kedalam ayat 11 yakni (למטח יו) yang artinya untuk suku Yusuf. Jigali mengatakan tidak ada penyebutan nama Bapa.
Kesimpulan: kami menolak usulan apparatus karena memperkabur teks
Dalam ayat 7b
Dalam ayat 7b terdapat kata (יו֯סֵף) yang artinya Yusuf dipindahkan ke pasal 10 dan 11.
Kesimpulan: kami penyaji menolak usulan tersebut karena membuat teks tidak jelas.
Ayat 8
Dalam ayat 8 terdapat kata (הו֯שֵׁעַ) yang artinya Hosea. Dalam teks Pentateuk Samaria ialah (יהושׁע) yang artinya Yehosea, adalah lelaki yang sama pada ayat yang ke16.
Kesimpulan: Kami menerima kritik aparatusnya. Karena semakin memperjelas ayat tersebut.
Ayat 9
Dalam ayat 9 terdapat kata (רׇפֽוּא) yang artinya Rafu yang merupakan kata yang terdapat pada Perjanjian Lama terjemahan  Siria.
Ayat 10
Dalam ayat 10 terdapat kata (לְמַטֵּה) yang artinya dari suku bandingkanlah dengan ayat 7b (יו֯סֵף) Yusuf.
Kesimpulan: kami para penyaji menolak, karena membuat kata sulit dimengerti.
Ayat 11
Dalam ayat 11 terdapat kata (לְמַטֵּה) yang artinya dari suku yang mengalami penelitian kedua menjadi (לִבְנֵי) yang artinya ….. bandingkanlah dengan ayat 7a (בֶּן־יו֯סֵף) yang artinya anak Yusuf  maupun pada pasal 1:10 (בֶּן־עַמִּיהוּד) yang artinya anak Amihud.
Kesimpulan: kami menerima usulan apparatus, sehingga dalam ayat 11 dari kata dari suku Yusuf , yakni dari suku Manasye: Gadi bin Susi menjadi dari anak Yusuf, yakni dari suku Manasye: Gadi bin Susi.
Ayat 14
Dalam ayat 14 terdapat kata (בֶּן־וׇפְסִי) yang artinya anak Wofsi, dalam terjemahan Septuaginta (LXX) ialah Ιαβι yang artinya Iabi.
Kesimpulan:kami menolak usulan apparatus karena membuat teks sulit dimengerti.
Ayat 15
Dalam ayat 15 terdapat dua yang mendapat apparatus yakni;
Ayat 15a terdapat kata (גְּאוּאֵל) yang artinya Geuel, dalam terjemahan Septuagintanya (LXX) adalah Γουδιηλ yang artinya Gudiel.
Kesimpulan: Kam menolak usulan apparatus karena membaut teks susah dimengerti.
Ayat 15b terdapat kata (בֶּן־מׇכִי) yang artinya anak Makhi, dalam Pentateuk Samaria adalah (מִיכִי) yang artinya Mikhi
Kesimpulan: kami menolak usulan apparatus pada ayat 15b karena membuat tidak jelas.
Ayat  16
Dalam ayat 16 terdapat kata (לְהוּשֵׁעַ) yang artinya dari Hosea, bandingkanlah pada ayat 8a.
Kesimpulan: kami penyaji menerima apparatus dari ayat 16, karena nama baik dalam ayat 8 maupun ayat 16 ini adalah lelaki yang sama dibicarakan.

2.5.3.      Terjemahan Akhir
[1]  Tuhan berkata kepada Musa:
[2] Suruhlah para laki-laki memata-matai tanah Kanaan, yang akan kuberikan kepada orang Israel; dari setiap suku nenek moyang mereka seharusnya kamu mengirim  seorang, semua pemimpin-pemimpin diantara mereka.
[3] Lalu Musa mengirim  mereka dari padang Gurun Paran, sesuai dengan ucapan TUHAN; semua orang itu adalah kepala-kepala orang diantara orang Israel.
[4] Dan inilah nama-nama mereka: dari suku Ruben: Syamua bin Zakur;
[5] Dari suku Simeon ; Safat bin Hori;
[6] Dari suku Yehuda: Kaleb bin Yefune;
[7] Dari suku Isakhar: Yigal bin Yusuf;
[8] Dari suku Efraim: Hosea bin Nun
[9] Dari suku Benyamin: Palti bin Rafu
[10] Dari Suku Zebulon: Gadiel bin Sodi
[11] Dari anak Yusuf , yakni dari suku Manasye: Gadi bin Susi
[12] Dari suku Dan: Amiel bin Gemali
[13] Dari suku Asyer: Setur bin Mikhael
[14] Dari suku Naftali: Nahbi bin Wofsi
[15] Dari suku Gad: Guel bin Makhi
[16] Itulah nama-nama orang-orang yang disuruh Musa untuk memata-matai negeri itu; dan Musa menamai Hosea bin Nun itu Yosua

2.6.  Tafsiran
Kelompok Tertindas      :  Kedua belas Pengintai
Kelompok Penindas       :  Musa, Orang Kanaan
Pembebas                       :  Allah

v  Ayat 1-16                 
Dalam hal ini, Tuhan berkata kepada Musa agar  mengirim para pengintai (Kedua belas suku Israel ) untuk memata-matai apakah Kanaan baik atau tidak, subur atau tandus, apakah penduduknya banyak atau sedikit, apakah mereka galak ataukah ramah, dan apakah mereka hidup seperti pengembara di dalam perkemahan ataukah sudah mapan dengan benteng-benteng yang kokoh. Mereka mengintai tanah Kanaan itu karena sesuai dengan janji/perintah Tuhan bahwa bangsa Israel akan mendapat kembali Kanaan yang sudah lama di diami oleh orang asing. Mereka akan mendapat kebebasan apabila mereka mengikuti perintah Tuhan mereka melalui hambanya Musa. Dan sebagai pembebas bagi mereka adalah Allah itu sendiri. bangsa itu tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Allah. Itu bisa kita bandingkan ketika banga Israel melawan Bangsa Ai yang mana bangsa itu tidak bersama Allah, mereka kalah dalam peperangan. Pengiriman kedua belas pengintai ke tanah Kanaan ini adalah bentuk ketertindasan bagi mereka, sebab mereka dikirim ke suatu tempat yang belum pernah mereka lihat walaupun negeri itu adalah milik mereka.
Oleh sebab itu, mereka pasti akan merasa ketakutan tentang apa yang akan terjadi apabila mereka ketahuan oleh bangsa yang ada di Kanaan. Kita ketahui bahwa yang menghuni Kanaan itu adalah bangsa Enak yang orang-orangnya adalah seperti raksasa, Amalek, Het, Yebus, dan Amori.
2.7.  Refleksi
Dari tafsiran diatas, dapat dilihat bagaimana Tuhan Yesus menyuruh Musa untuk mengirim para pengintai untuk memata-matai tanah kanaan. Dalam penindasan ini yang tertindas adalah para pengintai. Dan yang menjadi pembebas adalah Allah. dalam hal ini Allah memakai Musa untuk menindas para pengintai.
Begitu jug adalam kehidupan kita sekarang ini, banyak sekali terjadi penindasan terhadap kaum yang lemah, baik dalam bidang kehidupan baik secara ekonomi, sosial dan politik dan agama. Dan dalam hal ini kaum yang lemah tidak dapat melakukan apa-apa.
dalam hal ini sama seperti para pengintai yang mana ketika disuruh Musa para pengintai untuk mengintai tanah kanaan, akan tetapi para pengintai tidak dapat menolaknya, dalam hal ini meskipun para pengintai ditindas, tetapi para pengintai yakin bahwa Tuhan akan menyertai segala yang mereka lakukan.
Jadi dalam teks ini adalah untuk mengingatkan kita agar menaati Perintah atau kehendak yang telah dipercayakan Tuhan kepada kita, dan dalam melaksanakan perintah tersebut kita tidak boleh lepas dari pengharapan kepada Tuhan. Dan dalam hal ini kita juga harus siap dalam hal melaksanakan perintah Tuhan, meskipun terkadang kita diposisikan sebagai orang yang terindas. Penindasan yang terjadi ini bukan karena Allah tidak menyayangi kita tetapi penindasan yang terjadi karena Allah sangat menyanyangi umatNya, agar umatNya dapat lebih dekat lagi kejalan Tuhan.

III.   Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa metode penafsiran teologi pembebasan merupakan suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai-nilai keagamaan. Teologi Pembebasan Pertama kali muncul di Amerika Latin dan teologi ini lahir sebagai reaksi keadaan politik yang menyengsarakan rakyat karena pada saat itu diberlakukan struktur kekuasaan dan pemerintah Marxist di amerika Latin yang mendorong penguasa untuk menindas, melecehkan, dan mengabaikan hak-hak azasi rakyatnya. Lalu teologi ini semakin meluas kewilayah Korea dan India. Di Korea disebut teologi Minjung dan di India disebut teologi Dalit. Dalam metode ini penindasan yang terjadi baik dalam bidang ekonomi, politik. Sosial, dan keagamaaan. Teologi pembebasan ini bertujuan untuk membebaskan manusia dari kemelaratan, siksaan, penderitaan, yang dilakukan oleh para penguasa.

IV.   Daftar Pustaka
……, Alkitab Penuntun Berkelimpahan, Jakarta:Gandum Mas, 2002
Green, Denis, Pengantar Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas,2004
Hill, Andrew. E. & Jhon H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Malang:Gandum Mas, 2004)
  Lasor,  W.S.,Pengantar Perjanjian Lama 1, Jakarta:BPK GM,2008
Nitiprawiro, Wahyono, Teologi Pembebasan, Yogyakarta:LKIS,2000
Schmidt, W.H., Theological Dictionary of The Old Testamnet Vol:III,G.Johannes Botterweck, Helmer Ringgren (ed), Michigan:William B. Eerdmans Publishing Company,1988
Sitompul,  Darwin, Teologi di Pasar Bebas,(Pematang Siantar:L-SAPA,2007), 31-32
Sitompul, A.A. dan Ulrich Bayer, Metode Pembebasan Penafsiran Alkitab, Jakarta:BPK-GM, 2006
Situmorang, Jontor, Rekaman Catatan Hermeneutika PL Tingkat III-C “Teologi Pembebasan”, Medan: STT Abdi Sabda, 2009
Thomson, J.A., Tafsiran Alkitab Masa Kini  1 “Kejadian-Ester”, Jakarta:YKBP-OMF, 2005
Alkitab
.........,  Alkitab, Jakarta :LAI, 2007
........., Bibel Pakon Haleluya, Jakarta: LAI, 2009
........., New International Version,
..........., The Interlinier Bible “Hebrew-Greek-English”, England: The Trinitarian Bible Society, 1976


[1]  WahyonoNitiprawiro,Teologi Pembebasan,(Yogyakarta:LKIS,2000), 8
[2]  Darwin Sitompul,Teologi di Pasar Bebas,(Pematang Siantar:L-SAPA,2007), 31-32
 [3]  A.A. Sitompul dan Ulrich Bayer,Metode Pembebasan Penafsiran Alkitab,(Jakarta:BPK-GM,206), 335-336
[4] Jontor Situmorang,Rekaman Catatan Hermeneutika PLTingkat III-C “Teologi Pembebasan”,(Medan:STT Abdi Sabda,2009)
[5]   Denis Green,Pengantar Perjanjian Lama,(Malang: Gandum Mas,2004), 60
[6]   Andrew. E. Hill & Jhon H. Walton,Survei Perjanjian Lama,(Malang:Gandum Mas,2004), 205
[7]   W.S.Lasor,Pengantar Perjanjian Lama 1,(Jakarta:BPK GM,2008), 231
[8]   Ibid,232
[9]   J.A. Thomson,Tafsiran Alkitab Masa Kini  1 “Kejadian-Ester”,(Jakarta:YKBP-OMF,2005), 234
[10] Andrew. E. Hill & Jhon H. Walton,Survei Perjanjian Lama, 246
[11] ……, Alkitab Penuntun Berkelimpahan,(Jakarta:Gandum Mas,2002) , 214
[12]  J.A. Thomson,Tafsiran Alkitab Masa Kini  1 “Kejadian-Ester”,238-239
[13]  W.H.Schmidt,Theological Dictionary of The Old Testamnet Vol:III,G.Johannes Botterweck, Helmer Ringgren (ed),(Michigan:William B.Eerdmans Publishing Company,1988), 98-99

Misiologia About Pembangunan Nasional



PEMBANGUNAN NASIONAL SEBAGAI KONTEKS MISIOLOGI INDONESIA
I.                   Pendahuluan
Salah satu upaya yang dilakukan  untuk bangsa Indonesia adalah Pembangunan Nasional. Sebenarnya perinsip membangun pasti akan membawa kepada keteraturan yang baik. Tetapi kenyataannya pembangunan Nasional di Indonesia tidak dengan baik karena ada beberapa tantangan –tantangan. Dan tantangan itu membawa rakyat Indonesia sebagian besar  digolongkan dengan kata “menderita”.  Untuk lebih jelasnya, penyaji akan mencoba membahas mengenai sejarah pembangunan di Indosneia, apa-apa saja tantangan yang di hadapi dalam membangun serta bagaimana pembangunan nasional sebagai onteks misiologi Indonesia.  Penyaji menerima kritik dan saran yang membangun untuk menambah wawasan semuanya. Semoga paper ini bermanfaat bagi semuanya.
II.                Pembahasan
2.1. Pengertian Pembangunan dan Pembangunan Nasional
            Pembangunan merupakan pembinaan, hal (cara dan perbuatan), membangunkan.[1]Hakikat pembangunan nasional adalah pembangunan Indonesia seutuhnya. Pembangunan ini dilaksanakan sebagai pengamalan dari sila-sila dari Pancasila, dimana pembangunan ini mencakup: pertama, kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan dan lain-lain. Kedua kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, dan ketiga, kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam perbaikan yang berkeadilan.[2]
2.2. Sejarah Pembangunan Nasional di Indonesia
            Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dimaksudkan untuk mencapai cita-cita bangsa sebagaimana tertuang dalam Mukadimah UUD 1945, untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rayat Indonesia yang bedasarkan pancasila dan UUD1945. Pada masa dua puluh tahun sejak kelahirannya (1945-1965), NKRI yang dipimpin Soekarno sebagai presiden pertama RI menghadapi tantangan berat dalam memprtahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI hinggan mendapatkan pengakuan dari seluruh bangsa di dunia. Namun berbagai konflik politik dan konflik bersenjata telah terjadi sehingga menghalangi pembangunan. Dalam bidang konstitusional, Pancasila dan UUD 1945 dicoba digeser kedudukannya sebagai dasar negara sehingga manimbulkan krisis konstitusi yang kemudian bermuara pada terbitnya dekrit Presiden pada 1959 untuk mengembalikan NKRI ke Pancasila dan UUD 1945 sesuai perjanjian luhur bangsa. Dalam bidang ekonomi, diberlakukan ekonomi terpimpin yang disebut bukan sistem kapitalis dan bukan sistem komunis. Dimana keadaan ekonomi menjadi terpuruk sampai bahan pokok kehidupan rakyat tidak mencukupi. Akhirnya pada 1965 pemerintahan Soekarno kemudian dikenal dengan sebutan Orde Lama dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru.[3]
            Pada zaman Orde Baru (sejak 1966-sekarang) ditandai dengan pola pembangunan lima tahun dengan model pertumbuhan ekonomi yang mengarah kepada industrialisasi sebagai pilihan utama agar kemakmuran diperbesar. Semua keputusan dan pilihan ini tidak lepas dari keterbatasan kebijaksanaan suatu negara yang belum lama merdeka, namun muncul dari kepentingan-kepentingan politik negara berkembang itu sendiri (monopoli sektor strategis dan basah untuk seelompok orang tertentu, investasi tanah dan modal para birokrat dan kepentingan ekonomi negara-negara maju.[4] Pada masa Orde Baru ini di bawah kepemimpinan Soeharto sebagai Presiden kedua Republik Indonesia, pemerintah melaksanakan pembangunan nasional yang juga dinyatakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pedoman bagi pembangunan nasional. Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila merupakan pembangunan manusia Indonesia seluruhnya, dengan pancasila sebagai dasar, tujuan dan pedoman pembangunan. Hal ini merupakan usaha untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa yang berdasarkan Pancasila untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu pemerintahan Orde Baru menetapkan strategi Trilogi Pembangunan yang merupakan indikator utama versi pemerintah, yaitu stabilitas nasional, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan. Pembangunan ekonomi Orde Baru yang dengan jelas menunjukkan kemajuan dibanding dengan masa Orde Lama ternyata tidak mempunyai fondasi dalam semua bidang. Akhirnya Krisis moneter 1997 yang berkembang menjadi krisis multidimensional telah secara nyata membuktikan rapuhnya fondasi ekonomi itu. Dalam waktu singkat nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika merosot secara drastis dari Rp. 2.400/ Dollar sebelum krisis menjadi lebih dari Rp. 15.000/ Dollar. Banyak perusahaan bangkrut dan mengakibatkan peningkatan jumlah pengangguran. Jumlah masyarakat miskin meningkat tajam dari sekitar 28 juta orang pada tahun 1966 menjadi 53 juta orang pada tahun 1988. Ketidakpuasan rakyat memuncak dan politik militeristik yang dianut Orde Baru tidak mampu meredamnya. Orde Baru jatuh dan masa reformasi pun dimulai. Kejatuhan Orde Baru memunculkan reformasi yang bersifat mendasar dalam sejarah Republik Indonesia, yakni demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sistem pembangunan juga mengalami reformasi. GBHN tidak lagi ditetapkan MPR seperti pada masa sebelumnya. Pembangunan diatur berdasarkan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang didalamnya diatur perencanaan jangka panjang (20 Tahun), jangka menengah (5 tahun) dan pembangunan tahunan.[5]
            Menurut GBHN 1993 Pembangunan Nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI yang merdeka berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram dan tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Mengingat tujuan pembangunan yang begitu luhur, maka dalam pelaksanaan pembangunan, para penyelenggara negara dan masyarakat harus memiliki mental, tekad, jiwa dan semangat pengabdian serta ketaatan dan disiplin yang tinggi dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara kepentingan pribadi atau perorangan.[6] Pembangunan yang sempat terpuruk karena krisis multidimensional pada 1997, secara bertahap mulai pulih pada era reformasi. Nilai tukar dapat distabilkan pada tingkat sekitar Rp. 9.000/ Dollar Amerika sejak 2004. Jumlah masyarakat miskin yang tadinya sekitar 53 juta orang pada 1998, turun menjadi sekitar 30 juta orang pada 2004.
2.3. Tantangan Pembangunan Nasional secara umum
            Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat dua arus pandangan mengenai pembangunan nasional. Pertama, para pelaksana pembangunan nasional yang bertitik tolak pada peningkatan pembangunan ekonomi, dan kedua, dari pengamat yang mempertanyakan ulang titik berat pembangunan nasional. Dengan adanya perbedaan pemahaman dan peletakan titik berat pembangunan tersebut maka terlihat pula hambatan utama dalam pelaksanaan pembangunan. Adapun hambatan dalam pelaksanaan pembangunan tersebut yaitu:[7]
a)      Pembangunan nasional menitik beratkan kepada bidang ekonomi, hambatan yang utama bertumpu kepada pembangunan penduduk dan masyarakat, perkembangan sumber daya alam dan lingkungan, perkembangan teknologi dan ruang lingkup kebudayaan, perkembangan ruang lingkup internasional. Keempat masalah ini selalu dilihat dalam hubungannya dengan perkembanagan ekonomi.
b)      Pentingnya kesadaran pembangunan akan pentingnya pendekatan yang bersifat multi disipliner, pemahaman yang baru tentang ruang dan waktu, kesadaran mengenai hakikat yang abstrak dari hal-hal yang paling fundamental dari ilmu, kesadaran mengenai kompleksitas yang semakin rumit dari setiap bidang atau objek pembangunan. Tantangan utama bagi golongan ini adalah bagaimana keadilan sosial dinyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Pemikiran ini muncul karena pembangunan membawa perubahan yang lebih cepat dan dimanfaatkan oleh mereka yang mampu, berkeahlian dan mempunyai modal, sehingga kelompok ini cenderung tumbuh lebih cepat dari pada mereka yang tidak mampu, tidak berkeahlian dan tidak bermodal.
2.4. Tantangan Pembangunan Nasional secara Khusus
   Ada pun tantangan Pembangunan Nasional secara khusus  adalah sebagai berikut:[8]
1.      Ancaman terhadap Pancasila sebagai dasar negara
Masalah ideologi bangsa merupakan masalah mendasar yang di hadapi sejak lahirnya NKRI dan telah berhasil diselesaikan para pendiri bangsa dengan menetapkan Pancasil yang tertera dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai dasar NKRI. Ideologi Pancasila merupakan ideologi pemersatu bangsa yang paling menentukan eksistensi NKRI. PKI (Partai Komunis Indonesia) pernah mencoba menggugat perjanjian luhur itu dengan menunggugani konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis) Soekarno. Namun sejak peristiwa pembunuhan jendral di lingkungan angkatan darat pada September 1965 yang berlanjut dengan pembubaran PKI, komunisme dilarang dengan ancaman sekarang ini tidak sebesar zaman orde lama ini. Gugatan terhadap perjanjian luhur juga datang dari sebagian golongan/kelompok ekstrim (kelompok yang tidak nasionalis) yang menghendaki diberlakukannnya syariat Islam di NKRI. Keinginan ini tidak mungkin dipenuhi oleh NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 maka kelompok-kelompok ini tidak segan-segan menjalankan politik kekerasan dalam bentuk pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Semua pemberontakan itu berhasil di tumpas baik orde lama maupun orde baru cenderung menggunakan cara perjuangannya tidak secara terang-terangan menggunakan kekerasan untu mengatasi golongan yang ingin memaksakan syariat Islam di Indonesia. Cara ini terbukti efetif untuk mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara yang tidak dapat di gugat oleh siapa pun. Pada masa reformasi pemerintahan, kegiatan seperti tidak mempunyai konsep ynag dapat ditawarkan untu memantapan Pancasila sebagai ideologi kebangsaan yang hidup dalam hati nurani rakyat. Bahkan terkesan kompromistis dengan mengizikan salah satu provinsi NKRI yakni Aceh yang memberlakukan Syariat Islam. Sikap inilah seolah-olah membiarkan penyimpangan yang mendasar itu dapat memperlemah kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan dapat merusak persatuan. Oleh karena itu pemerintahan pada era reformasi seharusya memfasilitasi dialog dalam masyarakat tentang perlunya pemantapan Pancasila sebagai dasar negara.
2.      Masalah kemiskinan dan ketidakadilan
Cita-cita kemerdekaan NKRI adalah masyarakat adil dan makmur dan sejahtera. Namun hingga sekarang cita-cita ini belum tercapai dan belum terliat dengan jelas kapan akan tercapai. Kemiskinan masih menjadi masalah besar bangsa. Secara kasat mata dapat terlihat banyak fakir miskin dan anak-anak terlantar yang tidak dipelihara negara. Banyak warga negara yang tidak mendapat pekerjaan dan tidak mempunyai penghidupan yang layak. Namun diperlukan percepatan penurunan penduduk miskin untuk menuju cita-cita bangsa. Hal ini menjadi tantangan besar bagi negara dan masyarakat Indonesia. Hasil pembangunan harus dinikmati oleh semua rakyat di semua wilayah NKRI secra adil dan tidak boleh ada yang terabaikan.  Keadaan ini alau tida segera ditanggulangi akan mengakibatkan sasaran pembangunan jangka panjang yang mencanangkan jumlah penduduk miskin tida lebih 5% sulit dicapai.
3.      Masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
Kegagalan negara untuk mensejahterakan rakyat sesuai cita-cita kemerdekaan  tidak terlepas dari korupsi yang boleh dikatakan sudah membudaya di Indonesia. Masalah KKN ini merupakan salah satu faktor yang mnyebabbkan ketidak puasan rakyat pada rezim orde baru. Tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) yang membutuhkan cara penanganan yang luar biasa juga.  hal ini disadari pada permulaan era reformasi dan menjadi pertimbangan dalam pemberntukan suatu lembaga baru yang bersifat luar biasa yakni komisi pemberantasa korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan UU No. 30 tahun 2002. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat tidak percaya lagi pada aparat penegak hukum yang sudah ada yakni kepolisian dan kejaksaan, mempunyai kemauan dan kemampuan untu memberantas korupsi. Korupsi melanda hampir semua lembaga dan semua wilayah kekuasaan NKRI.
4.      Masalah kerukunan
Salah satu masalah yang menjadi pergumulan bangsa adalah kerukunan di antara masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai komunitas dengan beraneka ragam agama dan budayanya.  Seebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, wawsan Bhinneka Tunggal Ika seharusnya menjadi perekat  yang mempersatuan masyarakat Indonesia. Ternyata bangsa ini justru mengalami banyak konflik dan beberapa dekade terakhir ini  seperti :
·         Kasus Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
·         Kasus Papua dengan organisasi Papua Merdeka (OPM)
·         Kasus Maluku dengan Republik Maluku Selatan (RMS)
·         Konflik antar Suku Dayak dan Suku Madura di Kalimantan Barat
·         Konflik komunal Agama di Maluku dan Sulawesi Tengah (Ambon di Poso)
Salah satu sebab terjadinya masalah di atas adalah masalah ketidakadilan. Rakyat kecewa atas ketidakadilan yang berkelanjutan dalam negara Pancasila sebagai mana nyata dari kesenjangan dalam berbagai kehidupan masyarakat.
5.      Masalah lingkungan hidup
Masalah lingkungan hidup juga merupakan salah satu yang dihadapi bangsa Indonesia. Kerusakan lingkungan hidup akibat kebodohan, ketidakpedulian, dan kecerobohan terjadi secara luas seperti kerusakan terumbu karang, pembakaran hutan, sampah, indutrialisasi dan pengendalian dampak lingkungan yang tidak memadai, pengundulan hutan dan reboisasi yang tidak berjalan semestinya dan lain sebagainya.
6.      Masalah otonomi daerah
dalam era otonomi daerah ini teramasuk di dalamnya adalah mengatur pembagian pendapat, wewenang dan kekuasaan antara pemerintah daerah dan pusat.  Dengan demikian daerah-daerah memiliki keleluasaan yang jauh lebih besar untuk membangun daerahnya sendiri. Perubahan yang mendadak ini tampaknya membawa banyak kejutan di daerah-daerah. Banyak daerah yang belum siap dengan pemimpin-pemimpin lokal yang memadai. Permasalah yang muncul adalah masalah transisi dari sistem sentralistis yang lama menjadi sistem desentralistis yang baru.  Berbagai perundang-undagan dan pertauran terkait masih dalam proses. Tidak semua daerah berhasil menarik minat para ahli untuk membangun daerahnya.
7.      Masalah globalisasi
Globalisasi menimbulkan peningkatan saling keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya dan melalui berbagaai bentuk interaksi lainnya yang bersifat lintas perbatasan bangsa-bangsa. Globalisasi mempunyai dampak positif dan negatif bagi Indonesia karena pengaruh baik dan buruk datang dari luar dengan tingkat kecepatan yang sangat tinggi. Karena itu pada dasarnya globalisasi dapat menjadi peluang yang menguntungkan bagi kemajuan bangsa namun bisa juga menjadi ancaman terhadap ketahanan nasional. Dampak globalisasi yang sangat menimbulkan kesulitan di Indonesia sampai saat ini adalah masalah terorisme internasional yang mengusung slogan jihad. Radikalisasi agama yang merupakan fenomena global harus diwaspadai dan diantisipasi dengan baik. Terorisme global pada dasarnya dilandasi oleh suatu ideologi terorisme.
2.5. Pembangunan Nasional Sebagai Konteks Miosiologi Indonesia
Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila (PNSPP) dan pembangunan Tubuh Kristus (misi orang beriman). Di dalamnya terdapat semacam hubungan “tugas” yang bukan hanya sekedar berisi hubungan antara gereja dan negara, tetapi misi gereja dalam mempengaruhi pembangunan yang sedang berlangsung pada masa sekarang ini. Dalam sejarahnya di Indonesia, usaha gereja untuk mempengaruhi Pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila (PNSPP) sudah dimulai sejak berdirinya gereja, yang terdapat dalam bidang-bidang pendidikan dan kesehatan. B.A. Supit mencatat bahwa sesudah Sidang Raya DGI VII di Pematang Siantar pada tahun 1971, gereja-gereja mulai disadarkan bahwa partisipasi dalam pembangunan di Indonesia harus melebihi cara-cara pelayanan yang tradisional warisan zending.[9]  
Adapun dimensi  Pembangunan Nasional yang diperhadapkan dengan Gereja  yang menunjukkan peran serta dewasa ini adalah:
1.         Masalah lingkungan hidup [10]
Gereja dalam misinya meliputi segala makhluk (Mark. 16:15) harus mempertanyaan  dan menggumuli hakikat lingkungan serta segala isinya. Gereja secara nasional dan lokal harus memberi jawaban kepada jemaat atas pertanyaan, mana yang lebih penting : memperjuangkan pembangunan “mengisi perut manusia” ataukah membngun lingkungan hidup bagi “kelestarian binatang”. Gereja juga harus mampu mengajak arga jemaat agar di dalam mangusahakan kebutuhan sehari-hari  supaya bersikap lebih life oriented  dari pada human oriented.  Kedudukan manusia yang diciptakan oleh Allah dalam hubungannya dengan alam adalah sebagai wakil, sebagai gambar Allah. Dia adalah wakil Allah untuk memelihara alam dan sebagai ciptaan, ia adalah wakil ciptaan untuk mengerti kehendak Allah (Kej.1:26-28)
2.         Ketata-ruangan dalam pembangunan [11]
Dalam pembangunan nasional masalah ketata-ruangan menjadi masalah besar. Penggusuran rumah penduduk dan untuk keperluan pembangunan masih saja terjadi sampai sekarang dan mungkin tidak terbentang.  Berbagai alasan seperti pembangunan jalan, perluasan proyek pemerintahan atau swasta, cuup kuat untuk menggusur warga kota untuk menyingkir. Ribuan keluarga saat ini sendang bergulat mempertahankan keadaan rumah dan lahannya. Berbagai pakar memprediksikan bahwa tahun-tahun mendatang tidak mustahil korban penggusuran akan semakin bertambah bila UU tentang perumahan dan pemukiman itu tidak dioperasionalisasikan sebanyak mungkin untuk kepentingan rakyat kecil. Dalam situasi demikian misi gereja adalah mempengaruhi fungsionaris-fungsionaris pembangunan upaya mengadakan  perencanaan yang matang dan berwawasan kerakyatan. Daalam Alkitab di jelaskan bahwa pencaplokan hak tersebut adalah sesuatu yang jahat di mata Tuhan, sehingga harus di hukum (1Raj.21:20).
3.         Kepariwisataan [12]
Dalam menggalakkan kepariwisataan, gereja juga mempunyai peranan yang sangat penting. Tugas misi dalam bidang pariwisata ini tidalah di titikberatkan pada penambahan sumber devisa negara, tetapi lebih di fokuskan kepada amanat Injil, supaya setiap orang mempu memberi tumpangan kepada orang lain dengan tidak bersungut-sungut (1 Pet.4:9). Setiap orang Kristen harus menyadari arti kepariwisataan di dalam hubungannya dengan tindakan Allah yang membimbing umatnya keluar dari kehidupan sehari-hari, dari tugas-tugas rutin yang melelahkan “perbudakan tugas-tugas” (bdk. Ul.6:21)
4.         Konteks persatuan dan kesatuan di Indonesia dengan hubungan Pancasila sebagai dasar negara [13]
Dalam konteks persatuan dan kesatuan di Indonesia dengan hubungan Pancasila sebagi dasar negara, gereja perlu brgandengan tangan dengan semua komponen masyarakat untuk mengokohkan kedudukan Pancasila dengan jalan mengamalkannya secara kritis dan relevan dalam kehidupan masyarakat. Ciri orang percaya adalah setia pada perjanjian. Karena itu perlu di jauhkan sikap yang mengingkari perjanjian luhur para pendiri bangsa dengan menolak segala pengkhianatan terhadap janji itu. Sebagai komunitas yang diciptakan oleh kuasa dan kassih Tuhan, Gereja harus menjadi contoh ditengah-tengah masyarakat.
5.         Konteks Kemiskinan dan ketidakadilan[14]
Dalam konnteks kemiskinan dan ketidakadilan Gereja haruslah menjadi contoh yang dapat dilihat oleh seluruh masyarakat bagaiman hidup yang berkeadilan dan bebas dari kemiskinan. Jemaat perdana hidup dalam persekutuan, saling berbagi dan tidak ada di antara mereka yang berkekurangan.
6.         Dalam konteks Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)[15]
Dalam konteks KKN, Gereja haruslah menjadi contoh  sebagai komunitas yang bebas dari KKN. Untuk itu setiap dosa dalam komunitas Kristen harus di tanggulangi bukan di sembunyikan. Pertobatan dan pengampunan haruslah menjadi praktik normal dalam gereja. Semua orang saling memperhatikan dan saling menegor. Kalau ini di lakukan secara konsekuen, seharusnya tidak ada warga Gereja yang melakukan KKN. Kenyataanya dari 153 nama terhukum yang  dijadikan tersangka oleh KPK tahun 2005-2009 terdapat juga orang-orang beragama Kristen.  Gereja perlu introspeksi diri. Dalam hal ini agar dapat menjadi berkat bagi bangsa.
7.         Konteks kerukunan[16]
Gereja haruslah menjadi pembawa damai sejahtera dan menjadi contoh komunitas multi-etnis  yang sudah mengalami damai sejahtera itu. Kerajaan Allah adalah kebenaran damai sejahtera dan suka cita oleh Roh Kudus. Gereja adalah persekutuan anak-anak Allah yang selalu membawa damai. Gereja juga dapat menjadi contoh kesatuan dalam keanekaragaman. 
8.         Konteks otonomi daerah[17]
Dalam ontek otonomi daerah Gereja tidak boleh ketinggalan dalam mempersiapkan kader-kader pemimpin dalam segala bidang. Bangsa Indonesia sedang menhadapi suatu proses perubahan besar dan seluruh komponen bangsa termasuk orang-orang Kristen ada dalam proses tersebut. Dalam konteks sekarang ini  di butuhkan perhatian yang lebih besar dari gereja dan lembaga-lembaga Kristen untuk menggalang pelayan Kristen dalam berbagai bidang seperti pendidikan, ekomomi, sosial, politik dan lain-lain agar ikut berperan menentukan arah perubahan kearah yang lebih baik.
9.         Konteks globalisasi [18]
Dalam konteks globalisasi Gereja haruslah menjadi pembawa damai sejahtera Kristus kepada semua suu bangsa di seluruh dunia dengan memberitakan Inji Yesus Kristus yang penuh kuasa itu. Sementara itu Gereja harus menjaga dirinya dalam kekudusan, tidak di cemari oleh hedonisme dan cinta uang.  Setiap komponen bangsa termasuk orang-orang Kristen harus menjadi agen-agen pembaharuan yang aktif.

III.             Kesimpulan
Dari pemaparan diatas dapat di simpulkan bahwa proses pembangunan nasional di Indonesia  sangatlah panjang. Pembangunan yang di mulai dari pada masa orde lama hingga masa reformasi ini memiliki tantangan masing –masing sehingga dalam penyelesaiannya juga  berbeda. Adapaun tantangan dalam Pembangunan Nasional adalah  ancaman terhadap Pancasila sebagai dasar negara, masalah kemiskinan dan ketidakadilan, kerukunan, lingkungan hidup, otonomi daerah. globalisasi, ekonomi serta yang lainnya. Dan melalui tantangan ini penyajia apa yang akan di bangun sebagai konteks misiologi Indonesia. Dimana dalam pembangunan nasional sebagai konteks misiologi Indonesia mengupayakan bagaimana agar setiap warga atau  rakyat Indonesia mendapatkan kehidupan yang layak baik segi batin, jasmani, pekerjaan, kesejahteraan dan penghargaan.

IV.             Daftar Pustaka
Artanto, Widi., Menjadi Gereja Misioner, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Campbell, John., Bendalina Nelson, dkk, Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual, Jakarta: PERSETIA, 1995
John Ruck, Anne Ruck, dkk., Jemaat Misioner, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011
Poerdamarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1987
Sairin, Weinata., Gereja Agama-Agama & Pembangunan Nasional, Jakarta: BPK-GM, 2006


                [1] W.J.S. Poerdamarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), 88
                [2] John Campbell, Bendalina Nelson, dkk, Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual, (Jakarta: PERSETIA, 1995), 141
                [3] John Ruck, Anne Ruck, dkk, Jemaat Misioner, 55-56
                [4] Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner, (Yogyakarta: Kanisius,1997), 192
                [5] John Ruck, Anne Ruck, dkk, Jemaat Misioner, 57-59
                [6] Weinata Sairin, Gereja Agama-Agama & Pembangunan Nasional, (Jakarta: BPK-GM, 2006), 67
                [7] John Campbell, Bendalina Nelson, dkk, Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual, (Jakarta: PERSETIA, 1995), 143-144
                [8]  John Ruck, Anne Ruck, dkk, Jemaat Misioner, 60-80
                [9] John Campbell, Bendalina Nelson, dkk, Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual, 141-144
                [10]  Ibid, 144-145
                [11]  Ibid, 145-146
                [12]  Ibid, 146-147
                [13]  John Ruck, Anne Ruck, dkk, Jemaat Misioner, 81
                [14] Ibid, 81
                [15] Ibid, 82
                [16] Ibid, 82
                [17] Ibid, 83
                [18] Ibid,83