I.
Pendahuluana
Manusia berbeda dengan pulau. Ia
memerlukan persekutuan dengan orang lain dan tidak ada satupun bangsa yang puas
dengan dirinya sendiri. Setiap bangsa membutuhkan hubungan dan kerja sama
dengan bangsa-bangsa lain. Pertukaran dan saling berbagi pengalaman manusia
diperkayakan dan menumbuhkan perspektif baru. Sehingga hal ini benar-benar baik
untuk hubungan maupun kerja sama untuk tumbuhnya persekutuan kebersamaan. Dan
persekutuan itu adalah berlandaskan dalam iman dan kepercayaan. Sama halnya
dengan oikumene yaitu usaha dalam memikul kesatuan menuju gereja yang esa.
Namun dalam hal ini, untuk menuju keesaan tersebut salah satu yang ambil bagian
di dalamnya adalah Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP). Oleh karena itu dalam sajian ini kita akan membahas bagaimana
GBKP dan Oikumenika serta perananya. Semoga sajian ini dapat menambah wawasan
bagi kita.
II.
Pembahasan
2.1.Pengertian
Oikumene
Di dalam ilmu teologi, konsep keesaan
dibicarakan dalam terminology “Oikumene”. Kata ini berasal dari dua kata dalam
bahasa Yunani, yaitu ‘oikos’, yang berarti rumah atau tempat
tinggal, dan ‘menein’,yang berarti
mendiami, sehingga secara etimologi oikumene berarti mendiami rumah atau tempat
tinggal secara bersama. Tradisi gereja kemudian mengembangkan pemaknaan istilah
oikumene menjadi “kehidupan dan panggilan bersama gereja-gereja di dunia
melalui sikap dan aktivitas persekutuan, pelayanan dan kesaksiannya.”[1] Berdasarkan kata oikumene tersebut maka kita
dapat memaknai gerakan keesaan sebagai sebuah dinamika gereja Yesus Kristus
dalam mewujudkan iman dan panggilannya di tengah-tengah dunia yang sama.
Menurut Dr. J.L. Ch. Abineno, gerakan keesaan mencakup dua hal mendasar, yaitu
pertama pewujudan diri gereja Yesus Kristus yang esa di dalam iman dan tugas
panggilannya di dunia, kedua panggilan untuk mempersatukan gereja yang telah
terpisah-pisah oleh perbedaan budaya, bahasa, ajaran, dan organisasi, agar
gereja tetap esa di dalam Yesus Kristus. Dengan hal-hal ini maka gerakan
keesaan tidak hanya menekankan kesatuan lahiriah dan organisatoris, melainkan
kesatuan dalam pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat Dunia
serta kesatuan dalam panggilan untuk melayani dunia ini dengan berlandaskan
kasih.[2]
2.2.Sejarah
Singkat GBKP
Periode
pertama (1890-1893) disebut sebagai periode Firman Tuhan disebarkan di bumi
Karo. Pada tanggal 16 Nopember 1888, anggota parlemen Belanda JT. Kremer, yang
kemudian menjabat menteri, telah menganjurkan Kristenisasi orang Batak Karo.
Lalu Cremer, bersama zendeling Kreemer dari Jawa Timur mendatangi direksi dari
beberapa perusahaan perkebunan yang berhasil diajak agar menyumbangkan dana
kepada pihak NZG,[3] untuk pelaksanaan penginjilan
tersebut. Pada bulan Nopember 1889 ditandatangani suatu perjanjian antara pihak
NZG dengan suatu panitia Zending Batak Karo di Amsterdam (yang mewakili
perusahaan), lalu diutuslah H.C. Kruyt ke Tanah Karo.[4]
Pada
tanggal 18 April 1890 Pendeta H.C. Kruyt[5] bersama Nicolas Pontoh
tiba di Belawan, dan melanjutkan perjalanan ke Medan. Mereka menginap beberapa
malam di Medan untuk mengadakan persiapan seperlunya. Mereka mengadakan
pendekatan terhadap para penguasa di daerah ini, seperti tuan Residen W.J.M. Michielson
dan Tuan Carel Westenberg, kontelir khusus untuk orang Batak.
Setelah meninjau lokasi di beberapa desa di sepanjang kaki Bukit Barisan maka
Pdt. H.C. Kruyt menetapkan desa Buluhawar menjadi pos penginjilannya, karena
desa ini berada pada jalur lalu lintas dari dan ke dataran Tinggi Karo. Desa
ini menjadi desa persinggahan para pedagang yang disebutperlanja sira.
Pada saat itu barang dagangan diangkut dengan pikulan melalui jalan setapak
mendaki dan menuruni gunung dan lembah serta menyeberangi sungai-sungai.
Perjalanan ini sangat melelahkan, karena itu mereka butuh persinggahan.[6]Pada tanggal 1 Juli 1890,
Pdt. H.C. Kruyt menetap tinggal di Buluhawar atas bantuan pengulu Buluhawar
(penduduk desa Buluhawar sekitar 200 jiwa). Dia tinggal di rumah yang
sederhana. Dalam catatan harian Pdt. H.C. Kruyt rumah tersebut berada di antara
2 rumah dan tidak jauh dari kampung. Rumah tersebut disewa 16 dollar
dubbeltje = 336 cent per bulan. Dia belajar
bahasa Karo dan budaya Karo, dia memakai ikat kepala (erbulang), memakai
kain sarung tenunan khas Karo (eruis), memakai selendang (cabin),
ikut bergotong royong (aron), juga merawat orang-orang sakit. Ada
sekitar 41 orang yang dia rawat, misalnya ada yang keracunan darah dan ada yang
sakit borok. Dia mengunjungi orang-orang sakit dan memberinya obat. Bayarannya
biasanya berbentuk ayam, beras, dan lain-lain.[7]
Dia
memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk tidak mengisap candu dan tidak
bermain judi. Dia juga menjelaskan perbedaan misi Kristen dengan kehadiran kolonial
Belanda. Pemerintah Belanda tidak senang dengan penyuluhan yang diberikan Pdt.
H.C. Kruyt tetapi pendeta ini tetap pada pendiriannya. Pemerintah Belanda
berkeinginan agar Pdt. H.C. Kruyt tidak menjelaskan perbedaan Kolonial Belanda
dengan misi Kristen, jangan melarang orang Karo menghisap candu dan jangan
bergabung dengan tentara Aceh untuk melawan Belanda. Kemudian pada tanggal 23
Nopember sampai 3 Desember 1890 Pdt. H.C. Kruyt pergi meninjau dataran tinggi
Karo. Pada tahun 1891 dia meninggalkan tugas zendeling lalu pergi ke Menado
bersama Nicolas Pontoh untuk mencari tenaga pembantu untuk penginjilan.
Kemudian ditemukan tenaga penginjil dan ditempatkan di 5 pos pelayanan (pada
setiap pos pelayanan dibuka rumah sekolah dan poliklinik di samping pelayanan
Firman), yaitu :
1.
Guru Injil Benyamin Wenas di desa Salabulan.
2.
Guru Injil Johan Pinotoan di desa Sibolangit.
3.
Guru Injil Richard Tampenawas di desa Pernengenen.
4.
Guru Injil Hendrik Pesik di desa Tanjung Beringin.
5. Pdt. H.C. Kruyt dan Nicolas
Pontoh di desa Buluhawar.[8]
Periode
ke-dua (1893-1940) disebut sebagai periode pembaptisan orang Karo. Karena pada
tanggal 20 Agustus 1893, dilaksanakan pembaptisan kepada enam orang masyarakat
Karo oleh Pdt. J.K. Wijngaarden, yaitu : Ngurupi bersama anaknya Pengarapen,
Nuan (akhirnya menjadi Manteri Cacar yang dinamai Bapa Tuah Barus)
dan Tala serta dua orang bersaudara, Tabar dan Sampai.[9]
Periode ke-tiga (tahun 1940- 1950) ini
disebut sebagai periode kemandirian GBKP karena pada periode ini kepemimpinan
GBKP beralih dari orang Belanda kepada orang Karo. Pada tanggal 18 April 1940
diadakan pesta jubileum 50 tahun penginjilan NZG di Tanah Karo. Dan tanggal 23
Juli 1941 diadakan Sidang Sinode I GBKP di Sibolangit dan pada saat itu
ditahbiskan Pendeta pertama GBKP yaitu Pdt. Th. Sibero dan Pdt. P. Sitepu.
Selain Pendeta pada saat itu sudah ada 35 orang Guru Agama. Pada
Sidang Sinode ini dipilih pengurus Hoofbestuur (Pengurus
Sinode GBKP yang dinamai Moderamen[10]) yang pertama yang
diketuai Pdt. J. van Muylwijk. Tata Gereja pertama memakai bahasa Belanda
dibuat pada Sidang Sinode ini dan diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1942.
Dengan demikian terjadilah peralihan dari pelayanan NZG menjadi pelayanan
gereja yang beraliran Calvinis. Pada saat itu GBKP diharapkan menjadi gereja
yang mandiri. Pada bulan Juni 1943 pemuda Karo
beramai-ramai menjadi tentara Jepang yang diberi nama Giyugun atau Hei
Ho. Jemaat pada saat itu hidup dalam kekurangan. Masyarakat disuruh tentara
Jepang untuk menyembah Matahari setiap pagi tapi banyak masyarakat yang menolak
untuk melakukannya karena bertentangan dengan iman Kristen.[11]
Periode
ke-empat (1950-1970) disebut sebagai periode pembangunan kembali GBKP. Pada
tanggal 4-5 April 1950 diadakan Sidang Sinode GBKP IV di Kabanjahe dan dalam
sidang ini dibahas supaya GBKP mendirikan Sekolah Guru Agama, lalu dibicarakan
pengambilalihan rumah Sakit Zending, Sidang Sinode memutuskan untuk ikut Sidang
Raya DGI 21-28 Mei 1950.Pada bulan September 1953 Anggapen Ginting Suka diutus
untuk mengikuti pendidikan Theologia di Sekolah Tinggi Teologia Jakarta. Ini
menunjukkan bahwa GBKP mulai mempersiapkan tenaga pendeta melalui jalur
pendidikan teologia. Selain itu pengurus pelayanan kaum ibu (Moria)
dibentuk pada tanggal 16 Oktober 1957. Tahun 1960 dibuat aturan tentang tata
cara pengangkatan Diaken dan tugas-tugas Diaken yeng lebih banyak kepada tugas
pelayanan. Kemudian untuk mempersiapkan pemuda-pemudi gereja dalam hal beriman
kepada Tuhan disusunlah buku pedoman Katekisasi. Pada periode ini juga disusun
Tata Ibadah GBKP. Demikian juga untuk meningkatkan ekonomi jemaat dibangun
proyek sapi Gelora Kasih Patumbak yang dilaksanakan pada tahun 1965 tetapi
gagal karena kurang perencanaan. Pada tahun 1965 banyak diadakan baptisan
massal karena masyarakat Karo takut dituduh mengikut PKI.[12]
Periode
kelima (tahun 1970 hingga 2010) disebut sebagai Masa Peningkatan Pelayanan yang
berfokus pada Tri Tugas Gereja. Pada Periode ini Kursus Wanita Karo (KWK) di
Berastagi diresmikan (tanggal 2 Pebruari 1971). Ini menggambarkan bahwa
pendidikan bukan hanya hak kaum pria tetapi juga hak kaum wanita.
Sidang
Sinode XXII diadakan di Kabanjahe pada tanggal 23-28 Mei 1971 dan disusun Tata
Gereja yang keenam. GBKP bekerja atas tiga tingkat yaitu :
1.
Jemaat yang dipimpin oleh
Majelis Jemaat
2.
Klasis yang dipimpin oleh
Badan Pekerja Klasis
3.
Sinode yang dipimpin oleh
Moderamen
Pada
saat Sidang Sinode ini, GBKP menyatakan dirinya sebagai gereja Presbiterial
Synodal. Pada tahun 1971 jemaat GBKP sudah berjumlah 94.085 jiwa.
Pada
tanggal 11 Nopember 1972 diadakan pembongkaran kuburan Pdt. J.K. Wijngaarden di
pekuburan Kristen Jalan Pemuda Medan serta kuburan Pdt. J.H. Neumann di jalan
Jamin Ginting Km. 4,5 Padang Bulan. Kemudian esok harinya tanggal 12 Nopember
dilakukan penguburan ulang di Sibolangit dan kuburan ini dinamai Tanda
Peringatan Pekabaran Injil Pertama ke Tanah Karo.[13]
2.3.Pengertian
Oikumene menurut Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)[14]
Pengertian Oikumene menurut Gereja Batak Karo Protestan
(GBKP) yaitu sebuah upaya gerakan
kebersamaan gereja-gereja Kristen untuk menuju kesatuan. Dan GBKP adalah salah
satu anggota persekutuan gereja-gereja di Indonesia dan sekaligus pendiri
Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) pada tahun 1950, dan pada saat itu gereja-gereja Kristen pendiri PGI berjumlah 29
gereja misalnya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Kristen Protestan
Simalungun (GKPS), Benua Niha Kriso Protestan (BNKP), Gereja Kristen Protestan
Indonesia (GKPI), Huria Kristen Indonesia (HKI) dan lain-lain.
2.4. Peranan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP)
Dalam Pergerakan Oikumene di Tingkat Global (Dunia), Indonesia dan Sumatra
Utara[15]
Sejauh perkembangan berdirinya Oikumene,
Peranan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) juga melibatkan diri dalam pergerakan oikumene
di tingkat Global (Dunia), Indonesia (pusat), Sumatra Utara (wilayah) dan di dalam tata gereja GBKP (daerah). Dalam Pergerakan Oikumene di Tingkat Global
(Dunia), Indonesia (Pusat), Sumatra Utara dan juga tingkat daerah, peranan GBKP
mempunyai pemahaman hidup dalam oikumene yaitu sebagai berikut :
1.
Oikumene Eksternal yaitu keterlibatan
gereja dalam persekutuan Dewan gereja dunia, Dewan gereja Asia, Dewan geraja
Indonesia, Dewan gereja Wilayah Sumatra Utara, dan Dewan Daerah (Kabupaten).
2.
Oikumenika Internal yaitu hubungan antar
agama-agama berbeda aliran yang ada di seluruh Indonesia dan hubungan GBKP
dengan Pemerintah dan masyarakat.
Dengan dua pendekatan ini GBKP merespon
gerakan oikumene yaitu membentuk Biro oikumene di GBKP. Tujuan dari Biro ini
adalah khusus untuk menangani bidang oikumene khususnya dalam keterlibatan GBKP
sebagai salah satu pendukung oikumene dunia, dan adapun tugas bidang Biro
oikumene ialah merespon hal-hal untuk dunia yaitu berurusan yang bergerak menangani bidang Oikumene
termasuk tugas sebagai anggota oikumene dunia yaitu menerima surat undangan tingkat
global dan untuk menghadiri undangan tersebut dan keterlibatan GBKP dalam PGI
yaitu menjalin hubungan baik dengan pemerintah
dan daerah misalnya, GBKP ikut serta menghormati hari-hari besar keagamaan
lainnya seperti hari raya Idul Fitri, hari raya Imlek dan lain-lain dengan
membuat spanduk-spanduk yang bertemakan GBKP juga ikut menghormati agama-agama
lain. Dalam mensukseskan program
oikumene GBKP ikut serta dalam hal pembayaran iuran baik dalam tingkat Dunia,
Asia dan Pusat. Keterlibatan GBKP dalam merespon gerakan oikumene juga terlihat ketika terpilihnya GBKP sebagai tuan
rumah World Couencil Center (WCC)
pada tahun 2012, dan salah satu sebagai anggota Unaited Evangelical Mission (UEM)
di dunia. Keikutsertaan GBKP dalam oikumene terlihat dalam terjalinnya
hubungan kerja sama yang baik antara Jerman dan GBKP yaitu menerima tenaga
foluntir dari Jerman yang bertugas dalam pelayanan di Yayasan panti asuhan
Kristen GBKP Alfa Omega. Adapun pelayanan yang dilakukan foluntir Jerman di
Yayasan panti asuhan Kristen GBKP Alfa Omega adalah menangani orang tua
(Lansia) dan menangani orang-orang yang memiliki keterbelakangan mental. Sebaliknya
GBKP tidak hanya menerima foluntir dari Jerman, melainkan juga mengirim pemuda
GBKP ke Jerman sebagai foluntir dan juga menangani lansia, keterbelakangan
mental di Jerman. Kerja sama ini juga di pengaruhi oleh GBKP yang bekerja di
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia yaitu yang bergerak dalam Marturia yaitu pelayanan dalam bidang
Pemberdayaan Anak.
Dalam PGI, GBKP terlibat salah satunya
sebagai pendukung program dan juga
terlibat di dalam program tersebut. Sebagai contohnya yaitu Diakonia seperti
bantuan kepada gempa bumi dan Tsunami di Mentawai dan Nias, tidak hanya
membantu dalam hal materi tetapi juga mengutus anak Singuda (Pemuda/Pemudi GBKP) untuk memberi bantuan kepada orang-orang
yang terkena bencana gempa bumi di Nias maupun Mentawai. Bukan hanya dalam hal
itu, GBKP juga terlibat dalam diadakanya Pekan Iman Anak dan Remaja yang
dilakukan selama satu (1) minggu dengan istilah Camp. Pada saat itu juga GBKP sebagai Tuan Rumah tahun 2013 lalu,
kegiatan ini juga di bekerja sama dengan Pembinaan Pelayanan Anak Seluruh
Indonesia. Dalam tingkat daerah GBKP juga mengaku adanya oikumene misalnya
mengadakan Paskah dan Natal serta mengadakan pembentukan
kelompok-kelompok kerja yang bergerak dalam pertanian. Khususnya kegiatan ini
dilakukan kaum bapa di GBKP, kelompok kerja sama ini juga tidak menutup diri
hanya anggota-onggota GBKP, namun berbagai gereja juga datang termasuk agama
Islam juga datang terlibat dalam kegiatan tersebut. Kegiatan ini biasannya juga
disebut paskah Aron.
2.5. Tantangan Eksternal dan Internal
yang menghambat Oikumenika di GBKP[16]
Tantangan Eksternal dan Internal yang
menghambat oikumenika di GBKP juga dipengaruhi beberapa alasan, sebagai
berikut:
1. Masalah
budaya orang karo misalnya dalam perayaan natal oikumene di tanah karo jikalau
panitia dalam perayaan natal atau paskah tidak ada diikutsertakan orang-orang
karo maka perayaan natal atau paskah tersebut tidak akan dihadiri orang-orang
karo sekitar /tidak ambil bagian dalam acara tersebut. Artinya di sini
orang-orang suku karo masih eksklusif.
2. Jikalau
perayaan natal atau paskah tersebut dipanitiai oleh aliran-aliran Kharismatik/
Pentakosta maka orang-orang yang di sekitar daerah tersebut tidak menghadiri
acara tersebut. Artinya alur kebersamaan masih belum terlihat.
3. Setiap
gereja yang diunjuk dalam melakukan perayaan
sebagai tuan rumah masalah yang paling besar yaitu dalam masalah dana. Artinya
dalam melancarkan setiap kegiatan hanya berada dalam kepanitiaan.
2.6.Program-Program GBKP Dalam Rangka
Gerakan Oikumene[17]
Adapun rangka peningkatan gerakan
oikumene maka perlu dilakukan program-program sebagai berikut :
- Membuat surat penggembalaan tentang oikumene dan bagaimana menyikapi aliran-aliran kharismatik.
- Mengadakan kegiatan oikumene di masing-masing wilayah pelayanan (runggun, klasis dan sinode).
- Perayaan hari besar gerejawi.
- Seminar tentang oikumene bagi warga jemaat dan pelayan khusus.
- Kerjasama oikumene dalam hal pertukaran informasi, pertukaran tenaga dan warga gereja serta peningkatan sumber daya manusia dengan gereja-gereja yang ada di dalam dan di luar negeri.
- Memberi bantuan bagi gereja-gereja yang membutuhkan baik dari segi dana dan daya.
- Mengadakan kerjasama oikumene kemasyarakatan (persaudaraan semua manusia) di masing masing wilayah pelayanan (runggun, klasis dan sinode) melalui dialog antar agama dan antar kepercayaan dalam semua aspek kehidupan dan kerjasama antar agama melalui proyek kemanusiaan seperti bencana alam, menyikapi penyakit sosial (judi, pelacuran dan lain-lain).
Kepala
Biro : Pdt. Erick J. Barus, D.Th
Sekretaris :
Herawaty Br. Bangun
Anggota ex Officio : 1. Pdt. M. P. Barus, M. Th
2. Pdt. Simon tarigan, S. Th
3. Pdt. Rosmalia Br. Barus, S. Th
III.
Kesimpulan
Oikumene menurut Gereja Batak Karo
Protestan (GBKP) yaitu sebuah upaya
gerakan kebersamaan gereja-gereja Kristen untuk menuju kesatuan. Oikumene dalam
GBKP di dalam tata gereja GBKP ada dua pemahaman yaitu Oikumene Eksternal yaitu
keterlibatan gereja dalam persekutuan Dewan gereja dunia, Dewan gereja Asia,
Dewan geraja Indonesia, Dewan gereja Wilayah Sumatra Utara, dan Dewan Daerah
(Kabupaten). Oikumenika Internal yaitu hubungan antar agama-agama berbeda
aliran yang ada di seluruh Indonesia dan hubungan GBKP dengan Pemerintah dan
masyarakat. Di dalam PGI, GBKP terlibat salah satunya sebagai pendukung program
dan terlibat dalam program-program baik tingkat Dunia, Asia, Indonesia, Wilayah Medan dan tingkat
Daerah. Namun, dalam melakukan oikumene Eksternal dan Internal GBKP tidak
terlepas dari tantangan. Namun GBKP tidak hanya terkungkung dalam tantangan Oikumene.
Untuk memerangi tantangan tersebut GBKP selalu membuat program dalam
melansungkan berartinya hidup beroikumene.
IV.
Daftar
Pustaka
Hartono,
Chris Gerakan Oikumenis di Indonesia.
Yogyakarta: PPIP UKDW, 1984
Barus,
Erik Hasil Wawancara yang Dilakukan di
Kantor Moderamen GBKP, Kabanjahe, Tanggal 09 Oktober 2014, Pukul 13:30-14:30
Wellem, F.D. Kamus Sejarah
Gereja, Jakarta : BPK-GM, 2006
Abineno, J.L. Ch. Oikumene
dan gerakan Oikumene. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984
Tarigan, MW. http://gbkp-sejarah.blogspot.com/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html di terbitkan pada hari Jumat, 27 April 2012, di akses pada tanggal 08 Oktober 2014 pukul 13.45 WIB
Sinuraya, P. Cuplikan Sejarah
Penginjilan kepada Masyarakat Karo, Medan: Berkat Jaya, 2002
Sinuraya, P.
Diakonia GBKP Jilid 6,Medan: Merga Silima,1890
Graaf SC van Randwijck, Oegstgeest,
Jakarta : BPK-GM, 1989
Tata Gereja
GBKP Tahun 2005-2015, Kabanjahe: Abdi Karya, 2005
[1] Chris Hartono, Gerakan Oikumenis di Indonesia.
(Yogyakarta: PPIP UKDW, 1984), 1
[2] Dr. J.L. Ch.
Abineno, Oikumene dan gerakan Oikumene.
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), 10.
[3] NZG didirikan
pada 19 Nopember 1797 oleh orang-orang Kristen Belanda anggota gereja Hervormd
yang dipengaruhi oleh semangat pietisme Bnd. F.D. Wellem, Kamus Sejarah
Gereja, (Jakarta : BPK-GM, 2006),300
[5] Pdt. H.C.Kruyt
lahir pada tahun 1862 di Semarang, ia adalah putera Pdt. Jan Kruyt seorang penginjil ternama di Jawa Timur. Kelima
saudaranya juga menjadi penginjil atau menikah dengan penginjil. Salah seorang
saudaranya bernama Pdt. Albert Kruyt, terkenal dengan ide penginjilan melalui
pendekatan sosiologis. Pada usia 11 tahun ia memasuki sekolah Misi NZG di
Rotterdam. Pada tahun 1884 dalam umur 22 tahun ia lulus dan segera ditempatkan
di Tomohon Sulawesi Utara. Pada bulan April 1889, H.C. Kruyt ditugaskan
memberitakan Injil kepada masyarakat Karo di Sumatera Utara. Ia ditemani N.
Pontoh seorang pemuda Minahasa yang selama ini membantu mereka di Tomohon. Bnd.
P. Sinuraya, Diakonia GBKP Jilid 6,(Medan: Merga Silima,1890), 26-27
[7] MW. Tarigan, http://gbkp-sejarah.blogspot.com/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html di terbitkan pada hari Jumat, 27 April 2012, di akses pada tanggal 08 Oktober 2014 pukul 13.45 WIB
[9] MW. Tarigan, http://gbkp-sejarah.blogspot.com/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html di terbitkan pada hari Jumat, 27 April
2012, di akses pada tanggal 08 Oktober 2014 pukul 13.45 WIB
[10] Moderamen
adalah orang-orang yang terpilih menjadi pimpinan persidangan (Moderator). GBKP
menyamakan arti Sinode dengan Moderamen Bnd. Tata Gereja GBKP
Tahun 2005-2015, (Kabanjahe: Abdi Karya, 2005), 24
[12] MW. Tarigan, http://gbkp-sejarah.blogspot.com/2012/04/sejarah-masuknya-injil-ke-tanah-karo.html di terbitkan pada hari Jumat, 27 April
2012, di akses pada tanggal 08 Oktober 2014 pukul 13.45 WIB
[14] Erik Barus, Hasil Wawancara yang Dilakukan di Kantor
Moderamen GBKP, Kabanjahe, Tanggal 09 Oktober 2014, Pukul 13:30-14:30